Aku sudah pesimis duluan. Anak-anak akan sangat bosan ada di rumah. Apakah bisa kami bisa melalui pandemi ini? Bagaimana cara kami bertahan dengan segala teka-teki?
Terbiasa bebas main di luar, menghirup udara tanpa halangan, hingga bahagia menikmati panas matahari. Terus berubah dalam sekejap. Semua serba terbatas.
Kami tinggal di lingkungan yang alhamdulillah mendukung setiap perubahan yang ada. Jadwal penyemprotan disinfektan yang teratur, saling mengingatkan penggunaan masker, sampai mengurus paketan yang masuk. Ada rasa nyaman sejenak.
Teka-tekinya adalah perubahan yang berdampak pada aktivitas harian. Anak-anak mudah menyesuaikan tetapi di awal-awal sudah seperti sedang syuting film kartun. Aku jadi ibu monster, anak-anak jadi ultraman. Heboh, penuh drama, juga air mata.
Bermacam cara digunakan untuk melakukan penolakan. Satu kali pulang main nangis karena diingetin tetangga pake masker dengan nada tinggi. Terus yang kedua main hingga lapangan sepak bola agak jauh dari rumah. Terakhir, tantrum saat dilarang main ponsel sebab sudah terlalu lama.
Dari April hingga pertengahan Juli. Rasanya lelah sekali tetapi mau bagaimana lagi. Pemberitaan membuat kami semakin ngeri.
Gelombang pertama yang tidak akan pernah selesai.
Lho kelihatannya baik-baik saja kok. Setiap keluar kami selalu bertemu dengan orang-orang yang memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan. Ya pas piknik ke indomaret atau alfamaret.
Terus pas lebaran kemarin juga gak pulang kampung. Anak-anak marah, kecewa, nangis.
Kami pikir karena patuh, kami bisa menikmati new normal. Boro-boro, belum juga menikmati sudah ada psbb lagi. Total sekarang. Mentok-mentok keluar ya di gerbang arraudhah. Mau jauh-jauh juga gak enak hati.
*****
Pagi ini anak sulungku degan ceria menceritakan kalau dia sedang membuat lagu. Tentang corona katanya. Liriknya tentang harapan agar pandemi ini segera berlalu.
Tidak ada komentar