Prahara Mengguncang Pernikahan, 4+1 Kemampuan untuk Bertahan

 

Belum juga paham apa itu pernikahan, sudah dituntut untuk segera mengakhiri masa lajang karena umur. Pas menjalani otomatis keder kudu ngapain. 

Oleng komandan. 

Anak kemarin sore mana mau tahu apa itu tabungan pendidikan terus dana pensiun, belum lagi uang dadakan kaya tahu bulat. Komitmen saja masih meraba-raba.

Baru ngetik di google: 🔍pernikahan adalah, setelah rumah tangga tersapu habis oleh gelombang prahara.

Aku sama sekali gak kepikiran nulis tentang pernikahan lho. Sampe salah satu teman menyarankan saat kami menjalankan peer mentoring. Kata dia tulisanku cukup oke walaupun masih hajar kanan hajar kiri. Terus konselorku juga memgaktifkan lagi waktu pagi menulis jurnal.

Postingan kali ini aku gunakan sebagai aliran rasa. Tugas dari konselor agar aku bisa menyeimbangkan antara energi dengan kesehatan mental. Menulis membuatku mengeluarkan jatah harian kata, merasakan ada pencapaian, dan meluapkan energi. Biar bisa tidur layak.

Tulisanku ke depannya akan banyak kata konsultasi, konselor, atau istilah-istilah psikologi lainnya. Itu karena aku dengan rutin mendapatkan pengawasan konselor dan konsultasi daring dengan psikolog. Selain itu buku-buku atau referensi yang aku baca kebanyakan tentang ilmu jiwa. Mohon pengertiannya ya pembaca setia blogku. Aku tertarik tetapi bukan ahli. Sehingga bila merasa ada kecocokan, silakan datang ke ahlinya untuk mendapatkan kepastian. Jangan curhat di kolom komentar. Oke.

*****

Bermula dari keinginan menata kembali rumah tangganya, sebut saja Nay, mendatangi psikolog. Dia pesimis tetapi tidak punya jalan lain lagi. 

Pikiran-pikiran buruk begitu menguasai. Nay sangat khawatir hal tersebut akan berimbas ke dirinya atau anak-anaknya. Suaminya? Masih saja dalam fase denial. Merasa tidak ada masalah apa-apa.

"Saya sangat sering memikirkan ingin bunuh diri. Bahkan sekarang-sekarang, bayangannya semakin nyata dan menyeramkan."

Nay tidak membuat pernyataan itu menjadi detil. Alhamdulillah psikolog langsung tanggap dan melakukan serangkaian tes agar bisa memberikan terapi yang pas.

Cerita seperti si Nay sangat lazim saat ini. Besarnya kewaspadaan tentang kesehatan mental meningkat tetapi yang sadar untuk mendatangi para profesional masih kecil. Hal itu mendorong aku untuk menuliskan apa saja yang aku tahu agar semakin banyak lagi orang yang tidak malu ke psikolog atau psikiater. 

"Ya sama kaya kita sakit flu lah, kalau baru gejala kan lebih gampang ngobatinnya daripada udah sampe sesak napas baru ke dokter kan." Pesan dr. Jiemi Ardian, Sp.Kj.

Psikiater yang lagi hitz saat ini. Hahaha... Aku tahu doi juga setelah baca buku Tteokpokki.

Bisa klik di sini buat baca!

*****

Nah seperti yang aku bicarakan di awal, kesadaran seseorang saat menikah itu kembali justru ketika prahara melanda. Muncul lagi keinginan melihat kenyataan lebih seksama.

Oh aku tuh sudah menikah ya. Punya suami. Ada anak. Lantas ada sisi dalam diri yang teriak, "Helowww, kemana aja tsaay selama ini?" 

Terperangkap di jiwa abege labil yang maunya masih hepi-hepi. Lupa akan tagihan listrik, beras habis, apalagi sekolah anak. 

Terlambat? Oh tentu tidak. Semua pasangan punya timing mereka masing-masing untuk kembali ke jalan yang lurus. 

Kesempatan layaknya pintu terbuka. Tak perlu sempurna harus dua-dua alias suami istri sadar. Istri saja atau suami jua tak masalah. Ya pernikahan memang tentang dua orang tetapi lebih baik satu sadar duluan daripada dua-dua nyusruk bareng ke jurang perpisahan kan. Dari satu bisa menarik satunya lagi hingga akhirnya kuat bersama.


Kesadaran akan diikuti kenangan. Momen-momen di mana pasangan sangat jatuh cinta, bergelora, hingga rela mati berdua. Kenangan-kenangan yang diubah menjadi kekuatan sehingga bisa bertahan melalui semua ujian prahara pernikahan. 

Aku juga gak sengaja menemukan istilah jar of happiness setelah nonton drama korea berjudul: because this is the first life. Scene saat si istri curhat ke emaknya kalau dia dan suami mau cerai. Terus emaknya bilang, "Simpan baik-baik saku bintangmu." Artinya semua pasangan harus punya banyak kenangan indah yang nantinya saat ada keinginan untuk berpisah bisa digunakan sebagai senjata untuk bertahan.

*****


Kemampuan-kemampuan yang aku tulis di sini bersifat subjektif ya. Ada yang sudah aku praktikkan, satu masih wacana, dan sisanya menunggu waktu yang tepat.

Apa sajakah kemampuan itu?

1. Merayakan kegagalan bersama

"For the best, for the worst." Sayangnya, jarang yang mau saat si buruk datang. Namanya juga kemampuan kan. Harus dilatih hingga bisa jadi kebiasaan yang menetap untuk kemudian digunakan lagi dan lagi.

Merayakan kegagalan saat sama-sama marah ke anak tentang sesuatu yang sepele, membicarakan dengan santai masalah-masalah harian yang menjengkelkan, hingga begadang berdua saat galau tidak bisa pulang kampung.

2. Manja dalam takaran yang pas

Sudah menikah biasanya sering lupa untuk manja. Sok kuat biar dianggap teladan yang baik buat anak-anak. Padahal tak masalah bila ingin bermanja-manja. 

Balik lagi harus banyak berlatih.

3. Percaya satu sama lain

Sulit bila kaca kepercayaan pasangan sudah pernah pecah. Namun selama masih mau bersama menjalin kehangatan ya mau gak mau harus diusahakan.

4. Punya jurnal syukur bareng

Ini yang sedang ingin aku praktikkan. Sepertinya seru memiliki buku diary bersama. Jadi tahu rasa yang terdalam masing-masing. Biar rasa percaya juga perlahan meningkat. 

Plus 1 Kembali ke Tuhan yang sama

*****


Prahara tentu terjadi pada setiap pasangan yang ada. Besar, sedang, kecil. Hampir setiap hari. Setiap pasangan berjuang dengan gaya mereka masing-masing. Dan tidak pernah salah bila lelah lalu meminta bantuan. 

(818)

Tidak ada komentar