Belum juga paham apa itu pernikahan, sudah dituntut untuk segera mengakhiri masa lajang karena umur. Pas menjalani otomatis keder kudu ngapain.
Oleng komandan.
Anak kemarin sore mana mau tahu apa itu tabungan pendidikan terus dana pensiun, belum lagi uang dadakan kaya tahu bulat. Komitmen saja masih meraba-raba.
Baru ngetik di google: 🔍pernikahan adalah, setelah rumah tangga tersapu habis oleh gelombang prahara.
Aku sama sekali gak kepikiran nulis tentang pernikahan lho. Sampe salah satu teman menyarankan saat kami menjalankan peer mentoring. Kata dia tulisanku cukup oke walaupun masih hajar kanan hajar kiri. Terus konselorku juga memgaktifkan lagi waktu pagi menulis jurnal.Postingan kali ini aku gunakan sebagai aliran rasa. Tugas dari konselor agar aku bisa menyeimbangkan antara energi dengan kesehatan mental. Menulis membuatku mengeluarkan jatah harian kata, merasakan ada pencapaian, dan meluapkan energi. Biar bisa tidur layak.
Tulisanku ke depannya akan banyak kata konsultasi, konselor, atau istilah-istilah psikologi lainnya. Itu karena aku dengan rutin mendapatkan pengawasan konselor dan konsultasi daring dengan psikolog. Selain itu buku-buku atau referensi yang aku baca kebanyakan tentang ilmu jiwa. Mohon pengertiannya ya pembaca setia blogku. Aku tertarik tetapi bukan ahli. Sehingga bila merasa ada kecocokan, silakan datang ke ahlinya untuk mendapatkan kepastian. Jangan curhat di kolom komentar. Oke.
*****
Bermula dari keinginan menata kembali rumah tangganya, sebut saja Nay, mendatangi psikolog. Dia pesimis tetapi tidak punya jalan lain lagi.
Pikiran-pikiran buruk begitu menguasai. Nay sangat khawatir hal tersebut akan berimbas ke dirinya atau anak-anaknya. Suaminya? Masih saja dalam fase denial. Merasa tidak ada masalah apa-apa.
"Saya sangat sering memikirkan ingin bunuh diri. Bahkan sekarang-sekarang, bayangannya semakin nyata dan menyeramkan."
Nay tidak membuat pernyataan itu menjadi detil. Alhamdulillah psikolog langsung tanggap dan melakukan serangkaian tes agar bisa memberikan terapi yang pas.
Cerita seperti si Nay sangat lazim saat ini. Besarnya kewaspadaan tentang kesehatan mental meningkat tetapi yang sadar untuk mendatangi para profesional masih kecil. Hal itu mendorong aku untuk menuliskan apa saja yang aku tahu agar semakin banyak lagi orang yang tidak malu ke psikolog atau psikiater.
"Ya sama kaya kita sakit flu lah, kalau baru gejala kan lebih gampang ngobatinnya daripada udah sampe sesak napas baru ke dokter kan." Pesan dr. Jiemi Ardian, Sp.Kj.
Psikiater yang lagi hitz saat ini. Hahaha... Aku tahu doi juga setelah baca buku Tteokpokki.
*****
2. Manja dalam takaran yang pas
Sudah menikah biasanya sering lupa untuk manja. Sok kuat biar dianggap teladan yang baik buat anak-anak. Padahal tak masalah bila ingin bermanja-manja.
Balik lagi harus banyak berlatih.
3. Percaya satu sama lain
Sulit bila kaca kepercayaan pasangan sudah pernah pecah. Namun selama masih mau bersama menjalin kehangatan ya mau gak mau harus diusahakan.
4. Punya jurnal syukur bareng
Ini yang sedang ingin aku praktikkan. Sepertinya seru memiliki buku diary bersama. Jadi tahu rasa yang terdalam masing-masing. Biar rasa percaya juga perlahan meningkat.
Plus 1 Kembali ke Tuhan yang sama
*****
Tidak ada komentar