7 Tahun, Seni Mengolah Emosi

 


Tahun ini ibu-ibu sedunia dapat ujian serentak. 

Pelajaran Jarak Jauh.

Berjanji dengan tekad bulat pada diri sendiri untuk tidak mengomel dan berteriak ke anak. 

Pada kenyataannya, belum ada lima menit saja, aku sudah merasakan dadaku sesak terus kepalaku pusing, dan leherku menegang. Sulit sekali bertahan meski sekejap mata. Dan katanya ini akan berakhir hingga akhir tahun. Ya Tuhan, dosaku pasti banyak. Oh tidak, tidak. Aku tidak sendiri. Ibu seluruh dunia menghadapinya. Pastilah ada 1003 cara untuk bertahan.
Anak sulungku masuk SD tahun ini. Aku sudah membayangkan akan punya banyak waktu untuk lebih fokus ke yang kedua dan diriku sendiri. Ada saat-saat bisa me time: mengurus diri sendiri, menulis novel, posting blog.

Tetoot. Bubar semua rencana indah selama satu tahun.

Aku marah karena bukan tipe ibu-ibu yang telaten nemenin anak main di rumah, mendokumentasikan, lalu membuat portofolio mereka.

Aku masih berdebat dengan diriku kalau kodrat wanita hanya 4: haid, hamil, melahirkan, menyusui. Ya bagaimana mengelola rasa bersalah ketika aku malah memilih bekerja daripada mengurus anak di rumah? Ingin legowo gitu bila suami juga punya porsi yang sama dalam hal mendidik anak. Namun ternyata aku merasa seperti ada belenggu yang mengunci tangan dan kakiku.

Serakah. Aku ingin baik di segala hal. Di dalam dan di luar rumah. Memaksakan melakukan banyak hal dalam satu waktu. Itulah yang ternyata menguras energi. 

Tanpa sadar aku jadi sulit menyadari emosi yang aku rasakan. Semua dengan cepat berubah layaknya rollercoaster. Sementara anakku juga memiliki keinginan. Bentrok. Bertambah parah dengan kami yang sama-sama anak pertama. Sama-sama batu kalau kata suami. 

*****

Aku menyangkal. Ah semua akan baik-baik saja ketika nanti PJJ sudah menjadi rutinitas. Selalu lupa kalau anak 7 tahun terutama anakku, sedang berusaha memahami diri sendiri.

Bagaimana si sulung bisa mengolah emosinya apabila aku sebagai orangtua yang dia lihat setiap hari memberikan contoh yang salah? Mau gak mau, bila aku ingin si sulung menyesuaikan dengan cepat, aku haruslah dinamis pula. Memberikan ruang bagi si sulung untuk menelaah perubahan sambil terus berproses mengenali dirinya sendiri. 

7 tahun tahap paling naik turun secara emosi

Cukup contoh. Anak akan memilih dan memilah. Jam, cara, dan rutinitas; biarlah anak yang berproses. Sulit. Ya kalau mudah, bukan surga tapi piring hadiahnya.

Aku sempat terkejut kala anak pertamaku menolak makan ayam bakar, hanya nasi dan tumis kangkung. Ada konsep mempertahankan berat badan yang entah darimana dia dapatkan. 

Anak 7 tahun tidak mau makan banyak dengan alasan bisa terlihat gemuk saat difoto pada saat mengerjakan tugas. Whaaat? Gak nyangka aja sampai sejauh itu pikiran si sulung. 

*****

Pada awal PJJ, belajar selalu diwarnai tarik urat dan suara kencang. Ekspektasi sungguh tinggi. Dalam hitungan jam, anakku harus paham apa yang aku ajarkan. Harus sudah hapal. 

Padahal anakku adalah visual kinestetik. Duduk diam bisa bikin ngantuk. Bukannya mudeng malah jadi tantrum.

Parahnya aku lupa dong, aku juga seperti itu. Harus ada video atau lagu yang diputar biar bisa anteng baca atau ngetik.

Tentu saja kami sama-sama frustasi hingga akhirnya pertengkaran mengubah sudut pandangku. 

"Lha kamu gak ngajari, kok ekspektasinya anak bisa tahu itu logika dari mana?"

Aku menangis. Bila seperti ini terus maka kami akan sama-sama rusak. Baik fisik maupun mental. 

Aku harus berubah. Aku mulai baca buku lagi.

membaca membuat kami meregulasi diri

Anak-anak mulai melihat bagaimana caraku meregulasi diri. Tidak lagi langsung kasar dan meledak melainkan duduk di depan rak buku sambil membaca cepat. Buku anak-anak karena paduan warna membuatku bisa fokus sejenak pada napas. Hingga akhirnya me-review apa dan bagaimana mengolah emosi yang sedang aku rasa.

Sungguh PJJ membuka wawasanku sebagai ibu. Jadi lebih mau tahu tentang anak sendiri. Mencari celah  yang bisa aku masuki sehingga menghasilkan solusi yang menyenangkan bagi kami semua. 

*****

Sebelumnya aku tidak tahu bila emosi memiliki seni untuk diolah. Hahaha... Tarik ulur kaya layangan ternyata. 

Aku benar-benar harus memiliki banyak solusi di hati agar gak dikit-dikit larut dalam emosi terus mengorbankan perasaan anak. 

Satu hal yang selalu aku ingat-ingat adalah aku gak sendiri. Banyak ibu di luaran sana yang senasib sama aku. Aku bukan yang paling menderita. Bagaimana pun sulitnya aku wajib bertahan. 

(665)

Tidak ada komentar