Semakin sering menulis untuk postingan blog, aku merasa semakin sulit saja merangkai kata menjadi kalimat lalu paragraf. Tulis, hapus, edit, tulis lagi. Begitu terus.
500 kata bisa jadi seharian aku duduk di depan laptop. 1000 kata, aku harus baca artikel yang sesuai tema minimal 3. Huaahhh... Padahal aku ingin bersenang-senang saja saat menulis. Kubiarkan ide berlompatan. Tidak mau ribet dengan mikirin edit. Ogah harus mengubah yang sudah banyak keluar.
Padahal aku tahu pasti jika tulisan yang bergizi baik, tidak bisa tercipta hanya sekali duduk. Ada proses panjang kali lebar. Aku mulai tidak sabar dengan proses. Ingin cepat saja. Simsalabim gitu. Triiing jadi.
Pagi ini dengan badan agak enakan setelah kerokan, aku membuka laptop. Harus ada tulisan yang aku posting hari ini di blog. Mau berantakan kek, gak layak baca, atau sampah sekalipun. Bodo amat. Aku mau nulis.
Terus cari idelah aku di Pinterest. Aku menemukan 5 kalimat yang bisa kuingat juga gunakan agar bisa menikmati proses jatuh bangunku sebagai penulis.
Kalimat-kalimat ini seperti layaknya sudut pandang yang mampu menimbulkan dialog dengan diri sendiri di dalam hati. Setelah itu, aku bisa lebih fleksibel dalam menyikapi keadaan. Kemudian memutuskan dengan lebih bijak. Bukan menunda karena malas tetapi menikmati proses agar menghasilkan produk yang layak baca buat kalian para pembaca setia blogku.
Ya pastinya tujuan utamanya tetap diriku sendiri. Biar aku bisa menggunakan energiku untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. Syukur-syukur bisa membantu kalian juga. Gak juga gak papa sih.
Sebenarnya 5 kalimat ini lebih kepada mengingatkan aku akan kepekaan terhadap diriku sendiri. Aku sukanya apa sih, aku maunya yang bagaimana, atau tujuan apa yang ingin aku capai. Gitu.
🙆🙆🙆🙆 Selamat menikmati!
*****
1. You're allowed to change your plan
Betul juga. Menulis merupakan hal yang aku suka. Namun saat aku mulai merasa terbebani bahkan dengan yang kusuka, tentu saja aku bisa mengubah rencanaku. Aku boleh sesuka hati berganti aktivitas. Siapa yang melarang? Asal tidak merugikan orang lain, tentu saja aku leluasa.
Terus bagaimana bisa gak kepikiran dan malah terkungkung dengan batasan yang ditetapkan oleh diri sendiri? Harus selesai satu tugas baru bisa ke tanggung jawab yang lain.
Padahal tahu banget kalau diri sendiri ini sangat mudah bosan, punya energi berlebihan, dan susah diam. Diam bisa saat ngelamun jorok *ups.
Jadilah pas mandeg ide, keluarin stok figurine untuk dimainkan. 5-10 menit cukup. Baru balik lagi nulis.
![]() |
Figurine yang paling sering aku mainkan |
Ya anak kinestetik, sutris lah kalau disuruh duduk, diam, konsentrasi lebih dari 30 menit.
2. Showing emotions is healthy and okay
Aku tumbuh di lingkungan keluarga demokratis sebenarnya. Maka dari itu aku bisa punya kebiasaan menulis dan membaca yang boleh dibilang bebas serta difasilitasi dengan baik. Namun untuk mengungkapkan perasaan harus ada unggah ungguh alias sensor yang menyebabkan kurang bisa berekspresi seenak udel sendiri..
Setelah menemukan diri sendiri saat ini, aku kemudian menyadari akar tulisanku. Rata-rata berasal dari ungkapan emosi negatif yang terpendam sekian tahun. Itulah kenapa jadi berlompatan, penuh kemarahan, terkadang terselip aib pribadi.
Oleh karena itu, percaya diri untuk posting juga naik turun. Namun aku telah sampai pada tahap, "It's okay to express my emotions also feelings."
Bentuknya sudah penyataan bukan pertanyaan lagi sehingga pada saat menulis aku lebih nyaman. Tak lagi merasa bersalah seolah mengumbar aib.
3. You don't have to be happy all the time
Aku anak perfeksionis yang mengharuskan diriku bahagia setiap saat.
Racun.
Yes exactly. Siapa juga orangnya yang gak pernah jadi beracun dalam hidupnya. Sekali-kali pasti pernah lah.
Kalau boleh saran, pastikan tetap waspada dengan kesehatan diri sendiri. Jangan selamanya jadi beracun. Apalagi terus menerus menjelma sebagai cobaan bagi orang lain. No, no, no.
Karena itulah, kalimat ini jadi yang paling pas buat aku.
Begitu merasa tidak bahagia saat menulis, aku mengambil krayon dan buku jurnal. Bisa lebih cepat mengurangi nyeri yang tiba-tiba menyerang di ujung ibu jari hingga selangkangan. Semua di bagian kanan. Jeda lagi agak lama, biasanya hampir satu jam. Goresan-goresan warna sungguh menenangkan. Aku siap menerima ada hal-hal yang tidak sesuai harapanku. Apalagi postingan yang mengandung review. Biasanya tekanannya lebih bikin gak nyaman.
4. Authenticity is better than perfection
Nah jarang ada yang akrab dengan si otentik ini. Ditambah dengan maraknya media sosial di mana semua orang berlomba menunjukkan seindah mungkin hidup yang mereka jalani. Sehingga agak berat juga bila orang-orang apa adanya terjun ke dunia maya.
Demi sehat. Aku tidak lagi terobsesi dengan yang tampak sempurna tetapi yang nyaman dan aman bagi diri.
Menulis dengan berusaha sebaik mungkin seimbang dengan istirahat agar tidak tergelincir. Apalagi aslinya detil dan punya ekspektasi tinggi. Bila tidak hati-hati bisa masuk jurang depresi yang tanpa tepi.
Banyak orang yang menghakimi jika penulis itu pekerjaan mudah karena hanya tinggal melamun. Begitu media sosial booming semua orang berubah jadi penulis. Dan apa hasilnya? Perundungan, drama-drama, dan hoax.
Jelas bukan pekerjaan seseorang yang hobi melamun. Ada begitu banyak informasi yang harus dipahami hingga akhirnya tulisan itu bisa dipertanggungjawabkan. Bukan asal-asalan menumpahkan hasil lamunan. Ya kali 300 halaman hadir hanya dengan bengong.
Aku perlu otentik, paham diriku sebelum akhirnya bisa bertanggung jawab atas semua yang aku tulis.
Berat memang, tetapi saat yang ditunjukkan adalah diriku yang asli maka aku lebih mudah mengeluarkan ide. Tujuan penulisan akan lebih layak bagi diri dari sekedar viral.
5. You're amazing just the way you are
Tidak lagi perlu poker face atau operasi plastik bahkan. Memang tulisanku akan mencerminkan siapa aku tetapi terkadang, bersikap bodo amat juga sudah cukup agar bisa tenang.
Kata konselorku, "Butuh seumur hidup untuk benar-benar pulih dari trauma." Namun tetap akan aku jalani agar bisa merasa bahagia dan nyaman bercengkrama dengan diriku sendiri.
Anak kinestetik macam aku ini, harus apa adanya biar bisa seimbang. Cukup aktivitas juga cukup istirahat.
Bila tidak menulis, aku menggambar, atau memasak kadang. Tidak perlu banyak penggemar. Cukup satu saja yang bilang tulisanku bermanfaat, sudah cukup sebagai isi ulang energiku. Karena setiap hari aku berusaha bercermin, ngobrol dengan diriku, terus saling menyemangati.
1 hari bertahan. Bagiku, penulis itu, hidup satu hari sebagai diri sendiri jauh lebih menyehatkan ketimbang puluhan tahun terseret karakter ciptaan sendiri.
Minggu depan di postingan hari senin, aku akan menceritakan drama-drama sebagai seorang penulis yang sering orang sepelekan bahkan oleh si penulis sendiri. Tentu dari sudut pandang diriku sendiri. Tentang rumitnya menjadi diri sendiri saat seorang penulis mulai menggarap novel.
*****
5 kalimat yang sudah aku jelasin sesuai sudut pandangku di atas, semoga bisa menggugah kesadaran tentang kesehatan mental kita semua. Meskipun sedikit, aku ingin kita semua, bagaimana pun caranya, punya hal yang bisa jadi rekam jejak. Agar bila suatu saat nanti kita sedang terpuruk di jurang kemalasan, tekanan, atau depresi, rekaman itulah yang bisa kita jadikan alat untuk kembali bangkit menatap jalan di depan. Jeda sejenak boleh. Bukan stagnan di antara masa lalu dengan masa depan.
Soalnya sudah satu minggu lalu, aku menunda menyelesaikan caption blogku. Hanya gambar-gambar saja sehingga aku gunakan tulisan ini sebagai penyemangat diriku. Melengkapi caption di beberapa postingan minggu lalu yang mangkrak. Maafkan aku ya pembacaku yang merasa tertipu kok postingannya gambar doang. 🙏.
(1.137)
Tidak ada komentar