Pandemi, Teka-teki dan Ketahanan Diri

 

Aku sudah pesimis duluan. Anak-anak akan sangat bosan ada di rumah. Apakah bisa kami bisa melalui pandemi ini? Bagaimana cara kami bertahan dengan segala teka-teki?

Terbiasa bebas main di luar, menghirup udara tanpa halangan, hingga bahagia menikmati panas matahari. Terus berubah dalam sekejap. Semua serba terbatas. 

Kami tinggal di lingkungan yang alhamdulillah mendukung setiap perubahan yang ada. Jadwal penyemprotan disinfektan yang teratur, saling mengingatkan penggunaan masker, sampai mengurus paketan yang masuk. Ada rasa nyaman sejenak.

Teka-tekinya adalah perubahan yang berdampak pada aktivitas harian. Anak-anak mudah menyesuaikan tetapi di awal-awal sudah seperti sedang syuting film kartun. Aku jadi ibu monster, anak-anak jadi ultraman. Heboh, penuh drama, juga air mata. 

Prahara Mengguncang Pernikahan, 4+1 Kemampuan untuk Bertahan

 

Belum juga paham apa itu pernikahan, sudah dituntut untuk segera mengakhiri masa lajang karena umur. Pas menjalani otomatis keder kudu ngapain. 

Oleng komandan. 

Anak kemarin sore mana mau tahu apa itu tabungan pendidikan terus dana pensiun, belum lagi uang dadakan kaya tahu bulat. Komitmen saja masih meraba-raba.

Baru ngetik di google: 🔍pernikahan adalah, setelah rumah tangga tersapu habis oleh gelombang prahara.

[Komentar Apik] Paru Ungkep, Solusi Praktis Kala Malas Makan

 


Peringatan: Postingan ini merupakan review tanpa promosi berbayar. Aku menerbitkan tulisan ini dengan tujuan melengkapi tugas menulis blog di Kelas Pramuda 16 FLP Bekasi. 

Ya karena menulis tentang makanan adalah yang paling cepat bagiku, jadilah aku memilih Paru Ungkep dari Dapur Moma Liza untuk menggenapi tugas. Semakin ingin menulis karena paru ungkep sudah bersliweran di beranda media sosialku terlalu sering. Otomatis aku tambah penasaran dengan rasanya. Semakin kepo ketika testimoni-testimoni yang muncul di lingkaran pertemanan dunia mayaku: SESUAI EKSPEKTASI LIDAH PENIKMAT PARU.

Things to Remember, 5 Kalimat untuk Menikmati Proses Menulis

 

Semakin sering menulis untuk postingan blog, aku merasa semakin sulit saja merangkai kata menjadi kalimat lalu paragraf. Tulis, hapus, edit, tulis lagi. Begitu terus. 

500 kata bisa jadi seharian aku duduk di depan laptop. 1000 kata, aku harus baca artikel yang sesuai tema minimal 3. Huaahhh... Padahal aku ingin bersenang-senang saja saat menulis. Kubiarkan ide berlompatan. Tidak mau ribet dengan mikirin edit. Ogah harus mengubah yang sudah banyak keluar.

Padahal aku tahu pasti jika tulisan yang bergizi baik, tidak bisa tercipta hanya sekali duduk. Ada proses panjang kali lebar. Aku mulai tidak sabar dengan proses. Ingin cepat saja. Simsalabim gitu. Triiing jadi.

Foto Produk, Idealisme versus Kepuasan Klien

Pada masa pandemi, permintaan akan foto produk bukannya menurun malah naik drastis.

Banyak orang yang mengubah pekerjaan mereka dari kantoran menjadi freelancer atau serabutan. Dan rata-rata jualan masih jadi pilihan utama. 

Nah fotografer tentu juga tidak ingin kehilangan momen. Mengais rezeki dan menambah jam terbang lagi.

Tantangan baru kemudian muncul. Bila foto produk, idealisme dulu atau kepuasan klien yang diutamakan?

Setiap fotografer tentu memiliki pilihannya sendiri-sendiri. Di postingan kali ini aku ingin berbagi agar nantinya kalian, pas butuh foto produk, bisa menyesuaikan dengan selera kalian. Nego bijak dengan si mba fotonya. Oke? Boleh curhat di kolom komentar kok, tentang pengalaman kalian motret atau dipotretin produknya.

Yuk lanjut!

7 Tahun, Seni Mengolah Emosi

 


Tahun ini ibu-ibu sedunia dapat ujian serentak. 

Pelajaran Jarak Jauh.

Berjanji dengan tekad bulat pada diri sendiri untuk tidak mengomel dan berteriak ke anak. 

Pada kenyataannya, belum ada lima menit saja, aku sudah merasakan dadaku sesak terus kepalaku pusing, dan leherku menegang. Sulit sekali bertahan meski sekejap mata. Dan katanya ini akan berakhir hingga akhir tahun. Ya Tuhan, dosaku pasti banyak. Oh tidak, tidak. Aku tidak sendiri. Ibu seluruh dunia menghadapinya. Pastilah ada 1003 cara untuk bertahan.

After Wedding Photoshoot, Hepi atau Maki-maki?

 


Setelah menikah, banyak pasangan kehilangan getaran. Mereka sibuk dengan kewajiban dan tanggung jawab yang harus diselesaikan dari hari ke hari.

Aku dapat banyak sekali cerita tentang bagaimana teman-teman berjuang membangkitkan kembali percikan cinta. 

Lalu aku sebagai orang yang suka memotret, tiba-tiba kepikiran untuk membuat sesi foto setelah menikah. Bukan sesi langsung setelah prosesi tetapi lebih seperti foto keluarga memperingati hari jadi pernikahan yang ke sembilan tahun misalnya. 

[Komentar Apik] Sebelum Mengakhiri Diri, Baca Dulu Buku Tteokpokki

 


Aku membaca pelan-pelan dua buku: I want to die but I want to eat tteokpokki 1&2.

Buku yang membuatku berpikir bahwa aku tidak sendiri di dunia ini. Tentang kesehatan mental, bagaimana orang-orang merespon begitu dingin, dan seolah-olah aku halu serta haus akan perhatian. 

Tentu saja semua orang butuh perhatian. Namun karena banyak yang menggunakan cara-cara drama penipuan akhirnya semua dilabel sama: panjat sosial atau tukang halu.

Marah tetapi justru itulah yang membuatku semakin keras kepala untuk bisa mengelola diri hingga akhirnya bisa berdamai.

👧 "Bukannya itu sangat melelahkan?"
👩 "Ya sangat-sangat melelahkan Kendatipun sebegitu menyiksa, tetap ada rasa bahagia yang menyapa."