[Komentar Apik] Sebelum Mengakhiri Diri, Baca Dulu Buku Tteokpokki

 


Aku membaca pelan-pelan dua buku: I want to die but I want to eat tteokpokki 1&2.

Buku yang membuatku berpikir bahwa aku tidak sendiri di dunia ini. Tentang kesehatan mental, bagaimana orang-orang merespon begitu dingin, dan seolah-olah aku halu serta haus akan perhatian. 

Tentu saja semua orang butuh perhatian. Namun karena banyak yang menggunakan cara-cara drama penipuan akhirnya semua dilabel sama: panjat sosial atau tukang halu.

Marah tetapi justru itulah yang membuatku semakin keras kepala untuk bisa mengelola diri hingga akhirnya bisa berdamai.

👧 "Bukannya itu sangat melelahkan?"
👩 "Ya sangat-sangat melelahkan Kendatipun sebegitu menyiksa, tetap ada rasa bahagia yang menyapa."


Nah dari buku pertama aku menyimpulkan butuh keras kepala untuk menerima diri sendiri. Ya pastinya ini subjektif dari sudut pandang aku. Bila penasaran kalian bisa baca dan membagikan sudut pandang di kolom komentar blogku. Sudah lama aku ingin mengaktifkan lagi waktu untuk berbalas komentar agar bisa berbagi pengalaman juga dengan kalian.




Padahal Aku Hidup dengan Biasa-Biasa Saja, tetapi Mengapa Hatiku Terasa Kosong?

Baru pengantar saja aku otomatis memegang dadaku. Ada gatal yang tiba-tiba muncul disusul napas menjadi berat. KOSONG. Kata kuat yang tertinggal di dadaku membentuk lubang besar. Rasanya ingin segera mengisi lubang itu dengan barang-barang baru dengan aroma serupa candu.

"Salah satu cara untuk membuat diriku merasa bebas adalah dengan menunjukkan sisi gelapku. Aku ingin orang-orang yang berharga bagiku mengetahui kalau sisi gelap itu juga merupakan bagian dari diriku."

Bodoh pastinya. Mana ada orang yang akan bertahan di sisimu saat yang kau sajikan hanyalah kekurangan demi kekurangan. Kecuali cinta mati. Dan aku cenderung bertindak cinta mati bahkan pada orang yang baru aku kenal 10 menit yang lalu. Aku pernah tanpa pikir panjang memberikan ponsel baruku kepada teman. Secepat kilat setelah mendengar dia kehilangan lalu pinjam milikku agar bisa menghubungi keluarganya. 

Baru sadar setelah dua jam, setelah aku melambai pada teman baruku yang naik bis dengan ponsel baruku di tangannya.

Aku menangis saat menelepon Mamah di warung telepon alias wartel. Hingga sekarang pun Mamah selalu menjadi penolong di waktu aku melakukan kesalahan bodoh. Aku mengakui sangat haus perhatian. Dulu.

💓P : Sepertinya Anda memiliki kecenderungan tersebut. Anda memiliki kecenderungan bahwa ke mana pun Anda pergi. Anda harus menjadi pemeran utama atau pusat perhatian di sana.
(halaman 140)

Bagian tersebut membuatku melakukan self diagnose. Mirip. Kalau udah dapat perhatian langsung deh wah weh alias apa aja dikasih. Lagi lagi, itu dulu.

Seminar, sesi konsultasi, workshop healing, hingga pernah ketemu dengan yang bercampur mistis. Aku menjalani itu semua dengan harapan suatu saat bisa menemukan yang pas sehingga bisa menerima diriku. 

Buku yang pertama aku selesaikan saat buku kedua udah di tangan. Biar tuntas sekalian.

*****


Perjalanan menemukan yang pas bagiku begitu berliku. Meskipun sekarang sudah banyak orang yang mau memahami apa itu kesehatan mental tetapi kasus bunuh diri masih begitu tinggi. Bagiku buku kedua tentu saja jawaban. 

"Terimalah diri sendiri dalam ketidaksempurnaan, karena tidak ada juga manusia yang sempurna. Ijinkan orang lain memiliki persepsinya terhadapmu, karena kita tidak bisa mengubah persepsi orang lain."

Kata pengantar dari dr. Jiemi membuatku menangis lega. Walaupun tidak berkonsultasi secara intensif, aku memiliki beberapa teman psikolog yang dengan telinga terbuka dan penuh senyum pengertian menyimak semua ocehanku. Terus menerus memberikan aku semangat untuk menulis agar bisa mengeluarkan semua sampah emosi yang selama ini tertimbun. Pundakku sekarang terasa lebih ringan. Gatal-gatal di leher pun cepat sekali sembuh. Aku sungguh-sungguh mencoba sembuh. 

"Aku lelah bertemu orang-orang yang tanpa henti ingin membuktikan bahwa dirinya lebih hebat dariku sambil menceritakan diri mereka. Aku muak dengan energi semacam itu.Saat menghadapi orang semacam itu, aku berharap bisa tutup mulut saja, tapi akhirnya tidak kubiarkan diriku sampai kalah bicara, meski aku harus bicara lebih banyak dengan caraku sendiri, dan dengan cerita yang lebih provokatif walau sebenarnya di tempat itu hanya ada aku dan orang itu."
(buku 2 halaman 157)

Pada akhirnya lingkaran pertemananku begitu kecil. Namun aku memiliki mereka yang sangat paham diriku dan selalu siap sedia kapan pun aku butuh bantuan. Bahkan di masa pandemi seperti saat ini, sama-sama menjalani hidup yang tidak mulus, mereka tetap tidak melepaskan genggaman erat padaku. Ya berkah Tuhan, aku sudah tidak memiliki keinginan yang besar untuk mengalahkan orang lain. Tuhan pertemukan aku dengan mereka yang tulus dan selama ini aku cari. 

*****

Aku selalu berpikir bahwa setiap buku yang aku beli pastilah mengandung jawaban. Dan begitulah adanya. Termasuk buku ini. Di masa pandemi tidak bisa pergi-pergi pastilah butuh nutrisi bergizi baik untuk tubuh maupun hati.

Setelah baca buku ini, seaneh apapun diriku menganggap rasa, jiwa, dan tubuhku sendiri. Ternyata di luar sana ada juga yang punya sudut pandang sama denganku. Aku tak akan pernah benar-benar sendiri. Dan kalaupun sendiri aku sudah merasa cukup nyaman bercengkrama dengan diriku.

Pikiran-pikiran untuk mengakhiri diri masih kadang-kadang muncul. Namun itu sudah tidak begitu mengganggu. Lubang-lubang imajiner saja yang masih kadang mengganggu tetapi semua masih dalam tahap wajar. Aku juga merespon dengan biasa. 

Buku ini mungkin membosankan bagi yang tidak nyambung. Namun bisa jadi gambaran bagaimana seseorang yang depresi berproses kembali menerima diri. Sebagai upaya tidak main-main atau bikin drama seolah-olah kesehatan mental hanya rekaan layaknya sinetron.

Sebagai kesimpulan buku ini tetap aku rekomendasikan untuk kalian baca agar nutrisi hati terpenuhi.

(683)

Tidak ada komentar