Foto Produk, Idealisme versus Kepuasan Klien

Pada masa pandemi, permintaan akan foto produk bukannya menurun malah naik drastis.

Banyak orang yang mengubah pekerjaan mereka dari kantoran menjadi freelancer atau serabutan. Dan rata-rata jualan masih jadi pilihan utama. 

Nah fotografer tentu juga tidak ingin kehilangan momen. Mengais rezeki dan menambah jam terbang lagi.

Tantangan baru kemudian muncul. Bila foto produk, idealisme dulu atau kepuasan klien yang diutamakan?

Setiap fotografer tentu memiliki pilihannya sendiri-sendiri. Di postingan kali ini aku ingin berbagi agar nantinya kalian, pas butuh foto produk, bisa menyesuaikan dengan selera kalian. Nego bijak dengan si mba fotonya. Oke? Boleh curhat di kolom komentar kok, tentang pengalaman kalian motret atau dipotretin produknya.

Yuk lanjut!

Oke aku bahas tentang idealisme dulu. 

Aku belajar fotografi memang tidak pernah bertujuan saklek mau dapat duit. Murni amatir. Memotret untuk bersenang-senang, punya skill, dan eksplore sudut pandang.

Kata amatir ini, sering sekali buat aku senewen. Karena khalayak salah kaprah kalau amatir itu berarti skill yang dimiliki so so aja. NO! Seseorang yang amatir adalah dia yang melakukan pekerjaannya karena suka. Dia meletakkan hati dan jiwanya pada apa yang dikerjakan. Jadi bisa kebayang dong bagaimana usaha maksimalnya. 

Mba Sha alias Marrysa Tunjung Sari, guru motret pertama aku yang membuka wawasan tentang si amatir ini.

"Bayangin ya dia itu, beli lensa puluhan hingga ratusan juta buat sekedar motret burung doang. Skillnya ya jangan ditanya. Rela kok les private, menghabiskan waktu dan uang banyak buat praktik, demi foto seekor burung. Yang penting hepi."

Yak, betul sekali. Tidak ada hubungannya amatir atau profesional dengan skill seseorang. 

"Justru kalau amatir lebih punya waktu yang banyak buat praktik ketimbang pro. Gimana mau praktik, sibuk lah urus klien."

Sip, sampe di sini paham ya. Aku menempatkan diriku di posisi si amatir saat ini. Beli produk, coba, suka, potret. Lalu berbagi hasil produk yang aku foto ke yang punya produk. Tentu sudah dalam bentuk editan sesuai dengan seleraku.

Gratis memang. Namun biasanya si pemilik produk akan dengan ikhlas "membungkus" produknya untuk aku bawa pulang. 

Entah kenapa sistem ini lebih membuatku senang. Soalnya, tekanan yang aku dapat bisa aku atur sendiri levelnya. 

Menggunakan ponsel dan tanpa lighting banyak pun sudah puas

Belum kuat kalau harus atur lampu lebih dari satu terus komposisi dengan banyak aksesoris tamabahan.

Bayaran membuatku bekerja berkali-kali lipat lebih keras. Ada tanggung jawab. Ada kualitas yang harus terpenuhi. Balik lagi ini tentang pilihan. Aku pernah menyesali satu pekerjaan yang aku ambil, yang hasilnya membuatku masih kepikiran sampe sekarang. Kala itu, aku kepedean, menganggap semua akan baik-baik saja. Padahal fotografi juga memiliki hitungan yang presisi. Aku sih berdoa semoga klienku saat itu sudah memaafkan aku.

Dan aku gak mau mengulangi kesalahan yang sama. Ukur diri dan skill. Kalau memang belum sanggup ya tidak akan memaksakan lagi hanya karena rupiah. Kecuali punya mesin waktu yang bisa buat balik terus memperbaiki keadaan biar tidak ada penyesalan.

*****
Amatir dan profesional pastilah pernah menjalani masa menjadi pemula. Yang rempong, kebanyakan mau, dan semua yang mudah berubah ribet. Melakukan banyak kebodohan atas nama ingin dibilang pro lah. Padahal aku tahu bukan uang tujuan. Ya namanya juga pemula.

Semenjak itulah aku berproses. Berusaha menelisik lagi agar foto produk ini tetap membuatku bisa bersenang-senang. Walaupun tidak mudah juga. Karena apapun passion kita, bila belum selesai dengan diri sendiri maka jadi rempong aja gitu.

Tak akan pernah tertukar, selesaikan saja pekerjaanmu

"Pada saat kamu berusaha sebaik mungkin. Rezeki akan datang. Tidak melulu berbentuk nominal. Bisa juga pemahaman akan ilmu yang membuatmu bahagia saat mengetahuinya."

Aku tergugah. Pesan salah satu guru fotoku yang paling bisa ngitung secara presisi angle

Betul, pelan-pelan aku bisa mengatur ritme dan suasana hati untuk terus praktik. Bukan karena dibayar tetapi karena aku senang.

Tenang, banyak kok fotografer diluar sana yang sanggup menerima tekanan sedemikian rupa. Aku belum sampai sana. 😁😁😁.

Nah kalau ketemu sama mba foto yang kaya gini ya santai saja. Doi memang suka moto biar bisa hepi-hepi. Kalau diribetin sama uang malah jadi kacau.

*****

Nanti pada saat aku merasa siap, mungkin aku dengan senang hati menyerahkan rate card aku. Terus melakukan berbagai macam teknik demi kepuasan klien semaksimal mungkin.

Sekarang, aku masih ingin bersenang-senang dengan apa yang aku suka. Bukan terpaksa karena ada uangnya.

(685)

Tidak ada komentar