Membuat Gambar, Menyembuhkan Luka


Tentang perjalanan, menuju RUMAH.


Catatan merupakan alat bagiku untuk berkomunikasi. Namun kadang aku lupa, catatan bisa menjelma jadi doa yang kapan saja bisa terwujud.


Catatan Maret 2017, Maret 2019 terbukti. Perih. 

Dari catatan aku beralih ke foto-foto, aku amati baik-baik semua foto yang kemarin aku buat.

Langit biru, jingga mentari, rel kereta, rumah untuk pulang, KEMBALI KE DIRI. Begitu kesepian kah aku?

Aku menyadari aku bukanlah pribadi yang mudah berkomunikasi secara lisan. Apalagi harus bertatapan. Aku mendadak merasa takut seolah telah melakukan kesalahan dan siap untuk mendapatkan hukuman. 

Dari catatan itu, satu per satu gambar yang aku buat muncul. Gambar-gambar yang kamera terjemahkan, momen-momen yang mengingatkan bahwa ada hal-hal indah. Hidupku tak melulu tentang membuat kesalahan. Ada juga kenangan-kenangan indah. Lalu kenapa catatan dan gambarku sama-sama menyiratkan kesepian?



Dulu, bila aku bosan, akan ada banyak cara cepat untukku mengalihkan pikiran. Sekarang dengan berbagai macam peran, tuntutan, dan ekspektasi; agak sulit bagiku membagi ritme. 



Teriakan, tangisan, kemarahan adalah normal, bila aku sudah menerima. Luka-luka bisa jadi jembatan untukku terus mewaraskan diri. Bukan lagi manusia yang lupa diri. Padahal seringnya aku lupa nama hari, sudah makan atau belum, bahkan untuk mandi aku harus merasakan dulu gatal yang menyiksa. Hidup berjalan begitu menyakitkan di pagi hari, menjelang siang jadi bosan, lalu malam baru muncul semangat membuat kesuksesan. 

Aku bertanya pada diriku sendiri, "Apakah fotografi menyelamatkanmu, Phalupi Apik Herowati?"

Mungkin. Aku sibuk ingin terhubung dengan orang lain kemudian lupa menerima diri sendiri. Dari fotografi kemudian caption sebagai ungkapan perasaan, aku mulai berkomunikasi dan terhubung dengan diriku.

Aku tulis atau buat gambar. Aku berharap bisa kembali memeluk diri agar tidak kehilangan jati diri. Aku ingin bisa mewujudkan kembali mimpiku.

***


Gelap, ada sensasi abu-abu
Tidak pernah terpikirkan, hanya agar memiliki waktu sendiri tetapi tidak merasa kesepian. Bahkan gak ada tuh ingin bisa menghasilkan uang dari memotret. Pada saat aku membuat Phalupi Photography, semakin aku memikirkan akan mendapatkan untung, aku semakin menunda untuk mengambil kamera dan memotret. Semua properti otomatis teronggok. Ada beberapa teman yang menanyakan perkembangan ide bisnis fotografi itu, sebisa mungkin aku menghindar.

Cari muka? Iya jadi ingat tujuan ini. Orang-orang yang kesepian kadang lupa mukanya ada di mana jadi minta perhatian dengan melakukan segala macam cara. Bahkan dengan membicarakan kejelekan orang lain sebagai pemecah kebekuan. Itu aku sadari baru saja. Aku sering jadi party pooper berbau busuk karena menggunakan kekurangan orang lain sebagai pembuka pembicaraan. Aku meminta maaf untuk itu. Aku pikir bagus untuk mengakui itu agar aku bisa menerima diriku. Ya itu aku lakukan karena obrolan memang sesusah itu bagiku. Apalagi saat itu berlangsung lebih dari satu jam. 

Abu-abu ternyata memberikan sinyal, JEDA. 

Membuat gambar itu, menangkap momen ini, dan potongan-potongan kenangan tersebut; jeda untuk diriku sendiri agar sanggup menarik napas dengan perlahan. 

Lupa juga teori-teori. Hanya tekan shutter. Menikmati momen yang sekejap itu.


***

Luka-luka menimbulkan efek samping. Kenangan-kenangan buruk yang terpendam atau tertekan sedemikian rupa menimbulkan hilang ingatan. Tidak ada luka yang bisa dianggap bercanda. Bukan pula pura-pura lupa.

Perasaan dan emosi bagi orang depresi bisa jadi virus yang lama-lama melubangi kotak penyimpanan memori. Ada yang menyebut kehilangan memori jangka pendek. Lupa nama orang yang baru diajak kenalan, lupa meletakkan kacamata. Terlihat sepele tetapi jika berkelanjutan, bisa lupa bagaimana cara makan.

Fotografi bisa jadi salah satu alat untuk terapi komunikasi. Baik ke diri sendiri maupun orang lain. Ya konsep juga dengan menulis sebagai cara penyembuhan diri. Ingatan-ingatan yang seperti puzzle bisa digabungkan jadi satu hingga paham dimana akar lukanya.


***


Bagiku di awal-awal memulai, semua berantakan. Tak apa. Tujuan utama adalah melepaskan emosi baik itu positif atau negatif agar komunikasi dengan diri lancar. Aku ingin bisa mengontrol diriku. Di pertengahan kala tujuan bergeser, hilang lagi arah. Malas sekali memotret. Kemudian sekarang, aku berusaha balik ke tujuan semula. Makanya aku membuat lagi daftar kebutuhan memotret biar lebih teratur.

Teratur terkesan membosankan. Ya memang kenapa? Toh yang pasti di dunia ini adalah perubahan kan. Bosan hari ini besok semangat lagi.


Seringkali ada semacam perasaan tidak puas dengan hidup, seperti yang terjadi di tahap kedua, tetapi ketidakpuasan tidak selalu negatif. Ketidakpuasan dapat digunakan sebagai indikator positif yang menunjuk kepada perlunya perubahan di dalam hidup atau membuat kita tahu kadang perubahan terjadi, entah kita menginginkannya atau tidak. (Reconnecting to The Magic of Life by Joyce C. Mills, Ph.D halaman 64)
Luka-luka yang aku miliki seringkali mempengaruhi hubunganku dengan dunia luar diriku. Tulisan atau gambar yang aku hasilkan mengembalikan diriku untuk terhubung lagi. 

Terhubung setelah itu mencoba tidak tergantung. Secukupnya.


Tidak ada komentar