Learning is Life



Tulisan ini aku buat karena saat sedang scrooling IG, aku menemukan iklan buku Islamic Parenting karya Syaikh Jamal Abdurrahman yang aku beli di toko online seorang teman. Iklan yang membuatku memutuskan untuk berbagi pendapat dengan teman tersebut agar keresahanku tersalurkan.


😢 Astaghfirullah, jangan-jangan selama ini aku didik anakku seperti Binatang.Di bawahnya diberikan contoh seorang penemu konsep  ilmu  yang menggunakan anjing sebagai bahan percobaan. 


Apakah sudah separah itu orang mencari untung? Kemudian temanku menjelaskan itulah bisnis. Untung sebanyak-banyaknya. Beda dengan wirausaha yang kadang gak untung tetapi ada nilai yang ingin dibagi. Dalam kasus ini ilmu yang ada di dalam buku tersebut. Teman ini juga menyarankan padaku untuk mulai mengetatkan lagi kebutuhan. Biar tidak terjebak di tsunami informasi juga ilmu.

Ketika menikah, tanggung jawab seorang anak berubah menjadi istri atau suami. Perubahan tanggung jawab ini bisa memunculkan kebingungan bila anak-anak tidak disiapkan oleh orangtuanya. Anak laki-laki ya jadi suami kemudian ayah sementara anak perempuan menjadi istri kemudian ibu.

Otomatis aku jadi mengingat-ingat kembali bagaimana pola asuh yang dulu Papah Mamah berikan padaku. Termasuk nenek dan kakek yang juga terlibat. Pengasuhan yang berdampak pada caraku bertahan hidup.  

1. Sekolah adalah tempat penitipan anak

Semua tugas pengasuhan pindah ke guru. Kedekatan anak dengan orangtua sangat terbatas. Anak tidak begitu paham apa nilai-nilai yang ada di dalam keluarga yang harus dipertahankan ketika nantinya dia keluar dari rumah.

2. Anak itu punya kebebasan

Kebebasan yang tanpa batasan sehingga akhirnya bingung, ini aku disayang atau gak. Kebebasan sebaiknya diikuti dengan tanggung jawab. Tanggung jawab untuk tetap memegang nilai keluarga.

3. Orangtua itu ATM

Aku ingat aku cukup punya jiwa pengusaha tetapi itu terkikis setelah kuliah. Aku sangat tidak mandiri secara keuangan. Besar pasak daripada tiang. Baru sadar setelah menikah. banyak keinginan yang berubah jadi kebutuhan.

4. Bertengkar boleh di depan anak

Ini yang sampai sekarang masih menyakiti aku. Respon error sering terjadi. Perasaan dan emosi jadi terpendam. Sulit untuk mengungkapkan karena takut akan dapat tanggapan yang salah.

5. Penjelasan seperlunya

Anak kecil tahu apa. Padahal semua konflik yang terlihat terekam sangat jelas. Tidak adanya penjelasan membuat si anak kecil ini tetap bertahan dalam kebingungannya. 

Lebih suka mengumbar aib untuk mendapatkan perhatian. Ini mungkin poin yang akhirnya sekarang digunakan sebagai metode agar viral. Sadfishing. Ya menggunakan cerita salah paham, jualan kesedihan, atau mengumbar pertengkaran keluarga agar dapat perhatian dunia. Semua asumsi menjadi pundi-pundi.

6. Anak bisa belajar dari pengalaman

Benar bisa. Namun jadi sangat rapuh hatinya. Pilihan yang diambil akhirnya sering salah karena demi menghindari rasa sakit bukan untuk menghadapi kenyataan dan bertahan.

Pengalaman membuat orang lain merasa kasihan sehingga kesalahan bisa dimaafkan. Sekali berhasil kemudian berulang.

7. Kesalahan itu pengalaman

Namun bisa sangat menyakitkan bila diiringi dengan pembiaran. Anak jadi merasa tidak berharga karena tidak dapat penguatan mana yang salah dan tidak diulangi. Ya sudah begitu aja, yang penting hidup. Bukan menjadi manfaat.

Ledakan emosi negatif. Ya hasilnya adalah aku begitu bersemangat untuk menyalurkan rasa sakit yang dulu aku dapatkan. Emosi yang menumpuk saat aku masih jadi anak-anak.

Nada selalu tinggi, mudah galau, ambisius ingin anak jadi yang terbaik, ringan tangan, tidak mau kalah, dan akhirnya gagal mengenali kebutuhanku sendiri. 

Aaah sulit dipercaya pada awalnya. Aku dengan plek ketiplek copy paste. Tidak ada batasan jelas, emosi naik turun, tidak ada rutinitas.

Lantas apa yang menyelamatkan? 

Anak-anak. Fitrah mereka ternyata menyajikan pembelajaran bagiku. Biasanya setelah menikah kita kehilangan jati diri karena label yang melekat. Istri, ibu, juga profesi. Namun fitrah anak-anak ternyata menyadarkan bahwa ada hal-hal yang bisa buat kita berubah.

Anakku yang pertama sangat perasa sementara yang kedua begitu ekspresif. Aku yang rapuh ini malah merasa tertopang. Mereka dengan fitrah mereka membuat fitrah keibuanku  kembali.

Pelan-pelan aku melahap buku-buku pengasuhan. Pola asuh yang selama ini aku copy paste aku evaluasi ulang.

Oh ternyata, nilai-nilai yang ada di keluarga sebaiknya diperkuat agar saat anak keluar rumah dia tahu mana itu benar atau salah dengan respon yang bijak.

Iklan itu membuatku belajar. Bertahan hidup memang penting tetapi bekal untuk kematian juga tak kalah utama. Pilah-pilah ilmu dan cara bertahan hidup agar bisa selamat dunia dan akhirat.

Buku atau sumber ilmu yang lain memang haruslah disebarkan agar jadi manfaat tetapi aku juga harus memikirkan jalan-jalan yang berkah agar manfaatnya maksimal. Saat aku paham, maka anak-anak akan belajar dariku bagaimana bertahan hidup dengan cara yang baik dan benar.

Tidak ada komentar