[Komentar Apik] Istri Pro, Suami Tuntas!

buku sederhana penguat niat
Anak belajar dari pernikahan kedua orangtua. Dari bahasa kasih, interaksi komunikasi, hingga penyelesaian masalah rumah tangga. Luka-luka yang tertoreh selama masa pembelajaran akan terbawa hingga memiliki rumah tangga sendiri. 

Waktu berlalu tetapi tidak dengan luka. Bagaimana kehidupan pernikahan anak yang mendapatkan pengalaman pernikahan penuh kekerasan dari orangtuanya? Bisa saja sama persis dengan pernikahan orangtua yang berujung perpisahan atau bertahan dan jauh lebih sehat.

Bagi kalian pasangan yang ingin membingkai ulang apa itu pernikahan, bagaimana cara merajut cinta yang sehat, dan menikmati serta menjalani dengan lebih sadar; buku tulisan mba Lita Edia, S.Psi memberikan wacana apa itu istri pro dam suami tuntas

Pro dalam batasan bersungguh-sungguh menjadikan diri istri yang menjalani pernikahan sebagai ibadah. Ya memasukkan ketaatan kepada Allah dalam tujuan membina rumah tangga.

"Ah yang punya ilmu  juga  seringnya kasih alasan khilaf."

Pertanyaan lanjutannya adalah, "Apakah kamu sudah tuntas dengan dirimu sendiri?" Diri yang tidak tuntas kan membentur konsep diri. Misal konsep diri suami yang sehat adalah  tahu tugasnya untuk menafkahi lalu menjadi pembimbing bagi istri dan juga anak-anak. Lantas apa yang terjadi jika suami masih saja berkutat dengan luka pengasuhan?

Istri menganalisis ulang tujuan pernikahan yang dahulu dia harapkan. Sedikit parah, istri menemukan jika dahulu dia menikah dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar. Ada tuntutan  si calon suami sangat disukai ayahnya, udah lama berpisah ujungnya ketemu lagi, dan semua proses begitu mudah. Cinta membara juga sudah dikredit selama 2 tahun masa pacaran. 

Setelah menikah si istri hanya menuntut dan menuntut. Sangat tergantung kepada suami untuk menciptakan rasa bahagia, Baik dari keakraban, hasrat hingga komitmen. Padahal untuk merajut cinta butuh berdua kan. 

Rasanya seperti tidak ada harapan di masa depan dengan pernikahan seperti ini. Keduanya sama-sama dalam keadaan terluka dan masih tinggal di masa lalu masing-masing.  

Istri bisa saja gila tapi bertahan sementara suami masih  sibuk tebar pesona sana sini. Tidak ada lagi keintiman, gairah, apalagi komitmen. 

pernikahan bisa langgeng karena cobaan yang bisa terselesaikan

KEINTIMAN  adalah kedekatan emosional yang begitu hangat di awal. Aku ingat sekali bagaimana agak senewen nada bicara Papah saat kasih nasihat, "Bangun lah dulu dari suami mu, beresin diri baru bangunin anak-anak. Bete lah dia kamu masih bau bantal dia udah rapi. OGAH BANGET CIUMIN ISTRI BAU ILER." 

GAIRAH yang sering salah sangka. Dikira setelah menikah akan indah aja gitu berduaan gak ada gangguan. Ternyata setelah menikah tuntutan semakin menjadi. Satu saja lipatan perut sudah jadi acc sah untuk berpaling dari pasangan masing-masing. "Woy, gue gendut, buluk, kaya inem gini juga gara-gara punya anak. Sini kasih modal yang banyak buat perawatan. Bukannya kasih ke bini malah foya-foya sama perek." Teriakan yang aku yakin tak akan terdengar bila masing-masing punya cukup ilmu tentang pernikahan untuk dipraktikkan.

KOMITMEN jujur membuat aku menarik napas panjang. Kesediaan untuk terus bersama menyelesaikan tantangan, masalah, hingga target demi masa depan yang lebih baik. Justru di tahap komitmen inilah, semua masalah yang ada sebaiknya dibawa ke Tuhan yang sama. Mendekat sama-sama. Dengan memasukkan Tuhan, kekuatan tumbuh dari dalam. 




***

Di buku setipis 48 halaman semua dibahas lagi dari awal bagaimana cinta tidak melulu hadir di awal tetapi sebaiknya dipelihara sepanjang pernikahan. Artinya apa? Bisa saja yang awalnya cinta kemudian habis dan pernikahannya berubah jadi medan perang. Ya walaupun kemudian pasangan tahu kalau perang dalam pernikahan itu wajar terjadi. Lha ya gimana gak perang coba: latar belakang beda, cara asuh juga, belum lagi pengalaman-pengalaman hidup. Semua yang membentuk gambaran diri, gambaran ideal diri, dan ujungnya kepercayaan diri sangat mempengaruhi pola interaksi serta komunikasi.

"Penghakiman, ceramah, label negatif, dan berbagai kesalahan komunikasi hanya bisa dihindari dengan cara meyakini bahwa komunikasi perlu strategi. Sementara itu, komunikasi juga perlu dilatih." (halaman 37)
Tentu saja pasangan sebaiknya ikhlas dan legowo untuk saling membuka diri. Aku bilang sebaiknya karena rasa sadar itu bertahan lebih lama ketimbang diharus-harusin. 

Kan sudah lama nikah, atas nama cinta, saling kenal dalam waktu yang tak sebentar. Setelah menikah semua ekspektasi yang ada di kepala masing-masing individu berbeda. Kemudian baru sadar ada orang lain yang tidur di satu ranjang bareng, ya itulah menikah. Beradaptasi dengan kejutan-kejutan yang satu sama lain tunjukkan. Sudah tidak ada ekspektasi tanpa komunikasi. Sudah hidup satu atap, satu ranjang, bahkan satu selimut. 

menikah adalah momen setelah ijab qabul

***

🧕"Besok mau dimasakin apa?"
👨"Emang uangnya ada yang buat beli bahan?"

Sebel kalau diterusin. Ini nanya dibales nanya. Hal sepele yang bisa saja ditumpuk kemudian suatu saat meledak.

Pernikahan, penyesuaian sepanjang hayat. Kalau hal-hal kecil aja gak mulai dibiasakan untuk dibicarakan, apalagi hal besar yang sensitif dan menggugah emosi.



Hayo ngaku siapa yang berharap pasangannya bisa baca pikiran!

Nampol banget kan? Mentang-mentang nikah terus bisa lah ya bahasa kalbu. Gak perlu ngomong pasangan sudah wajib tahu bin paham gitu.

Istri pro dalam definisi pribadi aku adalah aku yang percaya akan diriku, mau terus berubah, dan bertanggung jawab dalam semua proses. Tentu kembali pada fitrah menemani suami dan anak menuntaskan peran masing-masing.

***

Di jurnal 2 aku telah menemukan keterampilan berkomunikasi, editing, manajemen waktu, mendelegasikan, dan cerdas keuangan. Alasan terkuatku adalah ingin bermanfaat bagi diriku sendiri. Aku ingin menikmati, benar-benar meresapi tujuanku hadir di dunia ini. Kok egois kamu? Ingat woy udah punya suami sama dua anak! Ya justru itulah... Sebelum memberikan kesungguhan ini ke orang lain, aku sebaiknya sungguh-sungguh mengenal diriku sendiri.



Dari buku ini aku memutuskan untuk selama satu bulan ke depan aku fokus ke self healing. Baik dari baca buku, 1 seminar yang sudah masuk jadwal, 2 workshop  di tanggal 9 dan 11 Januari, juga supervisi di akhir bulan Januari.

Ya cara belajar yang gue banget adalah gabungan dari baca buku kemudian mencatat terus membuat review. Tetap harus ada sesi tatap muka dengan mentor sembari tetap mencatat detil-detil kecil yang sesuai untuk aku terapkan. Tidak boleh ketinggalan ada workshop untuk menjalin silaturahim karena aku suka sekali belajar dari pengalaman orang lain. Gimana gak suka, belajar dengan meminimalisir rasa sakitnya. Paham-paham deh yang masih baperan.


Perjalanan ini sungguh mulai menantang. Aku mencoba untuk mengelola semangatku agar tidak habis di tengah jalan.


#belajarmerdeka
#merdekabelajar
#janganlupabahagia
#jurnalminggu3
#materi3
#kelastelur
#bundacekatan
#buncekbatch1
#buncekIIP
#institutibuprofesional

Tidak ada komentar