Tiba di rumah sakit, antri sebentar untuk mendaftar kemudian menunggu tidak sampai lima menit sudah bisa bertemu dokter.
Si anak masih santai saat diminta duduk di kursi hijau. Bisa tersenyum pas dokter membersihkan telinganya menggunakan suntikan berisi air hangat. Mulai tidak karuan waktu alat penyedot masuk ke telinga.
👀 "Iya ada plastik bu. Dalam sampai saya gak bisa lihat gendang telinganya."
Tangisan melengking, penolakan yang kuat, dan semua omongan ibu bagai angin lalu saja. Semakin tinggi nada ibu, semakin pake falsetto tangisan si anak. Seharusnya ibu bisa dengan baik dan benar melihat rapuhnya si anak. Namun yang ibu lihat adalah gagalnya tindakan penyedotan plastik dari dalam telinga si anak. Skenario sudah sampai ke dokter yang di Kranji aja deh besok kamis.
👀 "Ya kita coba pakai obat tetes telinga dulu bu. Soalnya kalau dipaksa diambil juga takutnya masih ada luka. Atauuu ibu bisa pilih bius total kalau lihat anaknya seperti tadi."
Entah kenapa sosok yang ibu lihat saat dokter itu bicara adalah sosok ibu sendiri yang mau cepat, lancar, dan berhasil. Tidak mau susah payah membujuk. Padahal yang merasakan sakit juga tidak nyaman adalah si anak."
👩 "Ya pakai obat saja dulu dok. Biar minggu depan kontrol lagi. Semoga sudah tidak ada radang di telinganya."
👀 "Ibu kalau kontrol usahakan sama ayahnya ya. Soalnya kalau nanti anaknya berontak ada yang megangin. Ibu kan gak kuat tadi meganginnya."
Lagi-lagi, gambaran tentang diri ibu muncul. Tidak ada rasa percaya diri bahwa ibu bisa menangani anak dengan baik bila diberi waktu dan kesempatan.
Sepanjang menunggu obat yang terpikir adalah apa yang akan terjadi dengan plastik yang belum jadi dikeluarkan. Apakah akan membusuk? Apakah mengganggu pendengaran? Bagaimana cara membujuk si anak supaya minggu depan tidak terulang lagi pemberontakan yang sama?
👦 "Ibu, sakit nih telinga aku."
👩"Ya terus gimana? Emangnya mamas gak mikir gimana cara ngeluarin itu plastik. Plastiknya mau disitu terus sampe busuk. Ibu bilang kan sabar nunggu sampai hari ini. Hari ini harusnya kita bisa rencanain liburan. Eh ini malah habisin uang buat ke dokter."
Kembali, si anak memilih diam.
Pulang dengan membawa dua macam obat pereda nyeri. Satu untuk tetes di telinga, satu minum biasa.
***
Duluuu banget, ayah pernah komplain tentang ibu yang sedikit-sedikit mengancam. Cara komunikasi yang membuat ayah bereaksi sama seperti si anak, diam untuk menghindari ribut. Sekarang, baru sadar, ibu kekurangan semua bahasa kasih yang seharusnya mampu menggenapi sayang buat si anak.
Bila dibilang masalah itu sudah sepaket dengan solusi maka itu benar. Masalah plastik masuk telinga ini adalah solusi bagi ibu untuk mulai berkompromi baik dengan diri sendiri maupun si anak nantinya ke ayah juga adik.
Ibu jadi mengevaluasi diri. Apa yang sebaiknya diperbaiki? Dari kemarin isu yang sedang ibu ulang-ulang adalah MENDENGARKAN. Setelah tenang ibu perlahan mengakses ingatan-ingatan masa lalu agar bisa menentukan langkah. Oh ternyata bahasa kasih anak harus penuh hingga umur empat tahun. Baik hadiah, sentuhan, pujian, waktu berkualitas, hingga pelayanan atau kehadiran. Waktunya berkejaran. Ibu ingin juga tuntas tetapi tetap maksimal membersamai anak-anak. Tak apa ibu, bismillah.
"Orangtua harus dapat mengontrol penuh lisannya, agar tidak keluar ancaman atau ucapan yang bisa menjadi doa keburukan bagi sang anak. Doa itu tak harus sesuatu yang khusus diucapkan saat bersimpuh di hadapan Allah. Ucapan seketika seperti, "Dasar anak bandel," pun bisa bermakna doa. Dan, doa orangtua kepada anak itu bakal manjur." Islamic Parenting-Syaikh Jamal Abdurrahman halaman 122
Kan masih kecil, mana mudeng diajak ngobrol. Itu kesimpulan awalnya. Namun setelah dari dokter, ibu belajar bahwa sehebat apapun dokter di luar sana tetap ibu adalah jembatan menuju kesembuhan itu.
Ibu meletakkan gawai, memandikan anak-anak, kemudian menyiapkan makan malam. Mulai mempersiapkan diri untuk mengajak anak-anak kompromi.
 |
video yang sengaja diputar setelah dari dokter |
Untuk anak yang memiliki rasa penasaran tinggi disertai rasa takut, trik yang pertama adalah mencari tahu bersama. Kasus hari ini adalah mencari tahu tentang alat penyedot kotoran telinga, apa yang harus dipersiapkan saat akan disedot, dan bagaimana tetap santai saat telinga dibersihkan.
👩 "Mamas tadi siang sudah lihat kan videonya. Gimana? Minggu depan kontrol telinga ya. Plastiknya diambil sama pak dokter. Pak dokter ambilnya hati-hati pake penyedot."
👦"Iya ini kasih obat dulu. Nanti aku gak denger 90 menit. Baru bisa denger lagi terus gak sakit.
Cara yang kedua setelah tahu adalah menghargai rasa yang anak sampaikan. Tidak perlu merasa bersalah ke dokter ketika anak teriak, nangis, atau bahkan menendang. Apalagi naik darah terus langsung ngomelin anak. Simak baik-baik apa yang anak keluhkan saat itu, "Ibu minta maaf ya mas, ibu tadi gak dengerin mamas pas di tempat dokter malah maksa mamas." Ini adalah saat refleksi dan recall momen. Jalan menuju kompromi.
👦 "Ibu kalau marah ambil wudhu dong. Gitu kata bu guru."
Anggukkan kepala dan ucapkan terima kasih telah mengingatkan.
Langkah selanjutnya yaitu bermain bersama tanpa gangguan. Bila belum berhasil melalui kata-kata persuasi, temani dulu si anak main. Fokus. Lihat dan amati dia saja. 15 menit maksimal. Dari waktu inilah, ibu akan menemukan pengalihan yang tepat saat si anak mulai takut untuk bertemu rasa sakit.
Plus satunya untuk mengajak anak kompromi adalah berikan apresiasi. Tidak melulu barang mahal, ucapan terima kasih justru kadang lebih berarti.
***
Selama pengerjaan artikel ini, emosi ibu terkuras. Dinamika pengasuhan anak berumur 6 tahun sungguh butuh meletakkan semua ransel emosi biar tidak semakin berat.
Di bayangan ibu minggu depan, si anak akan duduk tenang menunggu plastik dikeluarkan dari telinga. Ya semoga saja ibu juga konsisten mengajak si anak kompromi agar minggu depan bisa lebih mudah diajak komunikasi.