Sekolah di Rumah, Bisa Tidak?


Wacana sekolah di rumah ini sudah ada sejak GianGaraGembul bayi. Pengalamanku sebagai guru anak usia dini digadang-gadang akan membuat sekolah di rumah masuk akal dan mudah. Namun ternyata eh ternyata, hingga anak Gian umur 5 tahun, sekolah di rumah masih ada di pikiran.

👦"Aku gak mau sekolah di situ lagi ibu. Aku mau sekolah di rumah saja."
👩"Kenapa mamas?"
👦"Aku bosan ibu. Lagian gurunya marah-marah melulu."
👩"Kan ibu juga galak."
👦"Tapi ibu kan ibu aku."

Itu artinya dia tahu kalau gak papa ibunya galak asal jangan orang lain. 

Aku sempat berpikir apa ikatan yang aku bangun terlalu dekat hingga anak-anakku belum bisa cepat akrab dengan orang dewasa lain. Iya karena kalau bermain dengan anak-anak lain maka cepat banget. Ibarat ditinggal antri beli ayam goreng juga udah dapat teman saja. Aku jadi agak sulit untuk memasukkan dia ke sekolah atau les yang notabene ada orang dewasa lain. 

Mau tidak mau rencana untuk menyekolahkan anak di rumah harus ditinjau lagi. Perencanaan pendidikan anak akan jauh lebih fleksibel karena aku tahu karakter anakku. Aku juga tahu sampai mana perkembangan mereka yang artinya kegiatan-kegiatan yang akan anak-anak ikuti bisa lebih mengena dan memberikan ilmu yang sesuai dengan visi misi keluarga.

Mulai baca-baca lagi buku-buku tentang perkembangan anak dan juga artikel atau jurnal yang bisa menambah keyakinan bahwa aku sebagai ibu sangat layak menjadi guru anak-anakku.

"Aku tuh hanya lulusan SMA, mana bisa mendidik anak. Lagian dulu orangtuaku hanya sekolahin aku biar dapat pekerjaan."
"Berat mba. Aku aja yang lulusan S2 memilih untuk kerja saja. Anak-anak aku sekolahin lah di sekolah internasional yang mahal. Aku tuh orangnya gak sabaran. Takutnya malah stres."

Oh Tuhan, apakah aku salah memilih untuk ada di rumah? Butuh tujuh tahun untuk akhirnya memilih dengan sadar, IYA AKU IBU RUMAH TANGGA. Tugasku adalah membahagiakan diriku sendiri. Ya sebelum mendidik anak di rumah, aku terlebih dahulu harus bahagia dan merasa cukup. Setelah itu yang terjadi terjadilah. Pundakku harus enteng dan bebas dari segala macam ekspektasi tinggi. 

Begitu diri ini sadar maka pelan-pelan niat untuk mengatur semua kegiatan anak-anak ditumbuhkan. Tidak ingin tergesa-gesa karena takutnya malah berujung penundaan seperti yang sudah-sudah. Rencana sebatas rencana.

***

"Nu, aku mau beli beberapa mainan kayu. Kalau khilaf, aku bayar dua kali ya?" tanyaku pada seorang teman yang jualan mainan kayu. 
"Siappp."

Aku pikir koleksi balok dan juga puzzle sebaiknya bertambah. Dan ya alhamdulillah anaknya senang, ibunya juga bahagia. Ketika GianGaraGembul sibuk dengan balok-baloknya, aku sibuk memotret dan menanyakan hal-hal yang bisa merangsang perkembangan kosakata dan juga kerja otaknya.

"Aku harus buat tangga ya ibu, biar bisa naik ke atas dan rumahnya tinggi."

Ya tidak perlu muluk-muluk ibu, aku akan berkembang asal ibu mau menemani. Itu cukup. Mungkin inilah masa dimana anak-anak butuh aku sebagai ibunya untuk terus mendampingi mereka hingga saat untuk keluar rumah tiba. Tidak ada mainan tidak masalah, anak-anak butuh orangtuanya.
Bila anak masih nyaman di rumah kenapa tidak sekalian sekolah di rumah saja?
Sekolah di rumah itu menuntut kesiapan orangtua. Orangtua-orangtua yang dahulunya tidak begitu dekat dengan ayah dan ibunya perlu disadarkan terlebih dahulu. Jujur tidak mudah. Orangtua zaman dulu sangat berbeda dengan zaman sekarang. Orangtua zaman sekarang sangat mudah mendapatkan informasi dalam mendidik anak sehingga tinggal berdamai dengan inner child agar mampu mendidik anak di era milenial yang penuh tsunami informasi.

Batasan-batasan kelas harus di dalam ruangan juga perlu diubah. Toh belajar tidak melulu harus serius, duduk tegak, atau di kelilingi tembok. Di lapangan penuh rumput juga bisa.

Kesadaran untuk menjaga alam nantinya akan menjadi pelengkap skill anak
Sekolah di rumah atau tidak, sebenarnya kebutuhan anak-anak adalah bisa memiliki waktu berkualitas bersama dengan orangtua. Asli aku mengetik ini sambil nangis karena inilah keinginan yang dulu tidak bisa aku sampaikan kepada orangtuaku. Bukan uang atau mainan tetapi perhatian dan kesediaan untuk mendengarkan juga berbagi rasa. 

Ya mungkin inilah yang membuat sekolah di rumah itu berat. Aku harus mulai mengulik satu per satu keinginanku semasa kecil. Selain itu kembali ke masa kecil yang berat dan suram. 

Bagaimana aku bisa mendidik anakku di rumah sementara aku tidak memiliki pengalaman keluarga yang memiliki visi dan misi? Baiklah aku akan mulai dengan memaafkan orangtuaku untuk sumber-sumber ilmu yang terbatas juga berterima kasih kepada mereka karena walaupun mereka tidak memiliki ilmu yang cukup saat itu tetapi mereka memberikan pendidikan di luar rumah terbaik semampu mereka.

GianGaraGembul dan nantinya DulDenGeni, dengan semua kelebihan dan keterbatasan ibumu juga ayahmu, semoga kami bisa menjadikan kalian anak yang baik juga bermanfaat di dunia juga akhirat nanti. Aamiin.

(735)

1 komentar

  1. soal ini setuju banget mba. Aku pujn begitu saat ini, apalagi dengan kondisi anakku yang spesial sekarang.. Semangat terus kak Gara..

    BalasHapus