Sekolah di Rumah, Bisa Tidak?
Senin, 16 Juli 2018
Wacana sekolah di rumah ini sudah ada sejak GianGaraGembul bayi. Pengalamanku sebagai guru anak usia dini digadang-gadang akan membuat sekolah di rumah masuk akal dan mudah. Namun ternyata eh ternyata, hingga anak Gian umur 5 tahun, sekolah di rumah masih ada di pikiran.
👦"Aku gak mau sekolah di situ lagi ibu. Aku mau sekolah di rumah saja."
👩"Kenapa mamas?"
👦"Aku bosan ibu. Lagian gurunya marah-marah melulu."
👩"Kan ibu juga galak."
👦"Tapi ibu kan ibu aku."
Itu artinya dia tahu kalau gak papa ibunya galak asal jangan orang lain.
Aku sempat berpikir apa ikatan yang aku bangun terlalu dekat hingga anak-anakku belum bisa cepat akrab dengan orang dewasa lain. Iya karena kalau bermain dengan anak-anak lain maka cepat banget. Ibarat ditinggal antri beli ayam goreng juga udah dapat teman saja. Aku jadi agak sulit untuk memasukkan dia ke sekolah atau les yang notabene ada orang dewasa lain.
Mau tidak mau rencana untuk menyekolahkan anak di rumah harus ditinjau lagi. Perencanaan pendidikan anak akan jauh lebih fleksibel karena aku tahu karakter anakku. Aku juga tahu sampai mana perkembangan mereka yang artinya kegiatan-kegiatan yang akan anak-anak ikuti bisa lebih mengena dan memberikan ilmu yang sesuai dengan visi misi keluarga.
Mulai baca-baca lagi buku-buku tentang perkembangan anak dan juga artikel atau jurnal yang bisa menambah keyakinan bahwa aku sebagai ibu sangat layak menjadi guru anak-anakku.
"Aku tuh hanya lulusan SMA, mana bisa mendidik anak. Lagian dulu orangtuaku hanya sekolahin aku biar dapat pekerjaan."
"Berat mba. Aku aja yang lulusan S2 memilih untuk kerja saja. Anak-anak aku sekolahin lah di sekolah internasional yang mahal. Aku tuh orangnya gak sabaran. Takutnya malah stres."
Oh Tuhan, apakah aku salah memilih untuk ada di rumah? Butuh tujuh tahun untuk akhirnya memilih dengan sadar, IYA AKU IBU RUMAH TANGGA. Tugasku adalah membahagiakan diriku sendiri. Ya sebelum mendidik anak di rumah, aku terlebih dahulu harus bahagia dan merasa cukup. Setelah itu yang terjadi terjadilah. Pundakku harus enteng dan bebas dari segala macam ekspektasi tinggi.
Begitu diri ini sadar maka pelan-pelan niat untuk mengatur semua kegiatan anak-anak ditumbuhkan. Tidak ingin tergesa-gesa karena takutnya malah berujung penundaan seperti yang sudah-sudah. Rencana sebatas rencana.
***
"Nu, aku mau beli beberapa mainan kayu. Kalau khilaf, aku bayar dua kali ya?" tanyaku pada seorang teman yang jualan mainan kayu.
"Siappp."
Aku pikir koleksi balok dan juga puzzle sebaiknya bertambah. Dan ya alhamdulillah anaknya senang, ibunya juga bahagia. Ketika GianGaraGembul sibuk dengan balok-baloknya, aku sibuk memotret dan menanyakan hal-hal yang bisa merangsang perkembangan kosakata dan juga kerja otaknya.
"Aku harus buat tangga ya ibu, biar bisa naik ke atas dan rumahnya tinggi."
Ya tidak perlu muluk-muluk ibu, aku akan berkembang asal ibu mau menemani. Itu cukup. Mungkin inilah masa dimana anak-anak butuh aku sebagai ibunya untuk terus mendampingi mereka hingga saat untuk keluar rumah tiba. Tidak ada mainan tidak masalah, anak-anak butuh orangtuanya.
![]() |
Bila anak masih nyaman di rumah kenapa tidak sekalian sekolah di rumah saja? |
Batasan-batasan kelas harus di dalam ruangan juga perlu diubah. Toh belajar tidak melulu harus serius, duduk tegak, atau di kelilingi tembok. Di lapangan penuh rumput juga bisa.
![]() |
Kesadaran untuk menjaga alam nantinya akan menjadi pelengkap skill anak |
Sekolah di rumah atau tidak, sebenarnya kebutuhan anak-anak adalah bisa memiliki waktu berkualitas bersama dengan orangtua. Asli aku mengetik ini sambil nangis karena inilah keinginan yang dulu tidak bisa aku sampaikan kepada orangtuaku. Bukan uang atau mainan tetapi perhatian dan kesediaan untuk mendengarkan juga berbagi rasa.
Ya mungkin inilah yang membuat sekolah di rumah itu berat. Aku harus mulai mengulik satu per satu keinginanku semasa kecil. Selain itu kembali ke masa kecil yang berat dan suram.
Bagaimana aku bisa mendidik anakku di rumah sementara aku tidak memiliki pengalaman keluarga yang memiliki visi dan misi? Baiklah aku akan mulai dengan memaafkan orangtuaku untuk sumber-sumber ilmu yang terbatas juga berterima kasih kepada mereka karena walaupun mereka tidak memiliki ilmu yang cukup saat itu tetapi mereka memberikan pendidikan di luar rumah terbaik semampu mereka.
GianGaraGembul dan nantinya DulDenGeni, dengan semua kelebihan dan keterbatasan ibumu juga ayahmu, semoga kami bisa menjadikan kalian anak yang baik juga bermanfaat di dunia juga akhirat nanti. Aamiin.
(735)
KEMBALI PULANG KE DIRI SENDIRI
Senin, 09 Juli 2018
Mulai merasa tidak nyaman dengan orang-orang di sekeliling. Semua nampak tidak bersahabat dan banyak komentar tentang hal-hal yang tampak sepele tetapi menyakitkan.
Aku mengikuti mas Adjie dari tahun 2015.
Boleh baca juga BELAJAR HENING TIDAK HARUS SEPI!
Sejak itulah mulai sadar untuk memperhatikan kesehatan jiwa. Kembali, membawa segala rasa yang ada untuk melangkah pulang ke yang paling mengerti dan memahami yaitu diri sendiri.
![]() |
Ini yang sering terjadi, membiarkan orang lain memporak-porandakan hati |
MENGENAL DIRI SENDIRI
"Ih kok jadi baper ya dibilang lebay sama tetangga. Ya biarin sih lebay, kalau anak gue ilang emang situ mau direpotin."
See, as easy as buying ice cream at Alpamart. Tidak perlu usaha keras, aku langsung terpengaruh dengan sindiran, komentar, atau pujian orang lain.
Keengganan diri untuk mengenal lebih jauh membuat orang lain dengan gampang mengubah perasaan aku dari biasa saja menjadi kecewa.
Mendadak sedih dan terpuruk ketika orang-orang mengkritik apa yang aku lakukan. Padahal yang aku inginkan adalah penerimaan. Inilah caraku. Aku ingin sekali terlihat sempurna lantas menuntut orang lain agar melihat kesempurnaan tersebut bukan melulu fokus pada kekurangan.
Orang lain ya orang lain. Tidak bisa aku menuntut untuk mereka sesuai dengan apa yang aku mau begitu juga sebaliknya mereka. Mereka seharusnya tidak bisa bersikap seolah aku harus sesuai dengan sangkaan mereka.
Padahal jika kita mau berusaha sedikit saja mengetahui siapa diri aku maka hidup akan jauh lebih nikmati.
Dalam konteks ini, aku sebaiknya mulai membangun lagi kesadaran untuk tidak mengemis perhatian dari orang lain tetapi kembali ke diri sendiri.
![]() |
aku adalah anak yang haus akan apresiasi orang lain |
Setelah niat untuk pulang, ada pintu gelap dan menakutkan yang terbuka. Jalan menuju masa lalu yang belum termaafkan. Jangankan melepaskan, jari-jari pun masih dengan erat menggenggam. Menahan sakit.
Semua orang tidak ada yang mau memahami tetapi aku terus mendesak agar mereka mau menghargaiku. Berapa? Ah ternyata mereka sama saja dengan orangtuaku. Hanya menganggap uang adalah sumber bahagia. Padahal aku hanya ingin pelukan, telinga untuk mendengar bukan hanya tentang prestasi tetapi juga frustasi, dan menerima aku apa adanya.
![]() |
setelah berdamai dengan masa lalu maka masa kini dan saat ini adalah nyata |
Terima kasih akhirnya Tuhan memberikan kesempatan untukku perlahan-lahan memaafkan diriku sendiri. Belajar menerima segala yang ada di masa lalu. Tidak perlu dibawa-bawa ke masa kini. Saat ini.
Ketika aku mulai paham, pada akhirnya manusia mempertanggungjawabkan semuanya sendiri. Kemudian kenapa harus memaki dan menghakimi ketika satu per satu teman pergi.
Mulai lagi dari awal. Apa yang salah dari itu? Mungkin karena awal selalu terasa berat dan melelahkan maka dari itu aku marah jika harus kembali mengayunkan kaki seperti pertama kali.
BERTAHAN DALAM MASA SULIT
Mas Adjie bersama Uda Irfan memperkuat niatku belajar melihat kenyataan. Bukan melulu hanyut dalam ketakutan dan juga tuntutan-tuntutan.
Aku sadar bahwa aku sering terjebak dalam ruang dan waktu yang terus mengingatkan akan rasa sakit akan pengharapan yang tidak terwujud atau sesuai dengan keinginan. Depresi yang berkelanjutan.
Bagaimana aku bisa mendidik anak-anak tanpa kekerasan sementara begitulah caraku dulu dididik. Sementara suamiku pulang, main sama anak sebentar habis itu ribut nyuruh anak-anak tidur. Apa karena aku sudah dapat izin untuk memiliki aktivitas di luar rumah lantas harus menggantinya dengan mengurus anak 24 jam penuh? Ya aku jadi dengan mudah terbawa perasaan. Cepat lelah dan tidak memiliki keinginan bergerak. Namun bila malam tiba otak begitu aktif, pikiran riuh. Namun badan sudah ingin istirahat. Akhirnya begadang nonton film di hp sampai dini hari. Bangun siang. Besoknya jadi malas bergerak, main hp sambil tiduran, malas makan, anak-anak tidak terurus secara maksimal, rumah terbengkalai.
"Oh itu normal kok."
Kalimat yang nyes di hati.
Terima kasih Ruang Napas yang mau menerima aku pulang tanpa penghakiman.
![]() |
Senang punya rumah yang bisa pulang kapan saja tanpa ditanya kenapa |
Begitulah hidup, agar bisa lolos dari ujian satu ke ujian yang lain. Hingga akhirnya sadar akan Kuasa-Nya.
"Kembalilah ke diri sendiri karena bahagia ada di sana." -phalupiahero
Mau sempurna apapun manusia itu pasti akan terlihat kurangnya. Namun apakah aku akan membiarkan kekurangan itu menghilangkan hak aku untuk bahagia? Tentu saja tidak. Aku pastinya ingin terus memelihara kebahagiaan diriku dengan tidak mencarinya keluar melainkan merawat yang sudah ada di dalam. Baik di rumah maupun hatiku.
Good Night, Phalupi Apik Herowati
(690)
Langganan:
Postingan (Atom)