5 Kelakuan untuk Bertahan di Lingkungan Tidak Waras


Sebagai kontaktor atau keluarga yang sering berpindah kontrakan, kami mulai mengerti bagaimana membedakan berperilaku di lingkungan sekitar.  Lingkungan tidak waras membuat para penghuninya menghabiskan waktu untuk hal-hal yang sia-sia seperti bergunjing atau mengajak berantem.

Ibu sering baper tetapi mulai belajar berdamai saat anak-anaknya rebutan mainan dengan teman-temannya terus pulang sambil menangis.  Anak-anak terkontaminasi dengan kata-kata kasar yang digunakan teman-temannya. Belum lagi kalau ada yang membanding-bandingkan harta satu sama lain.

Butuh waktu hampir lima tahun jatuh bangun. Akhirnya kami bahu membahu agar bisa memahami dan teguh dengan prinsip yang dipegang. 

Ayah terus menerus memotivasi ibu dan anak-anak agar tidak hanyut di dalam lingkungan yang tidak waras. Sebagai kepala rumah tangga sekaligus yang paling logis diantara kami, tidak cepat terbawa emosi, dan juga yang paling bisa menghindari konflik.

Sementara ibu harus berjuang lebih keras jika berkaitan dengan emosi. Ingatkah ibu saat pertama datang ke Jakarta? Baru punya bayi dan begitu idealis dengan segala kesempurnaan yang dimiliki. Lalu lingkungan kontrakan dengan berbagai macam latar belakang membuat ibu muda ini kambuh gilanya. Konflik-konflik dari mulai sepele hingga besar tidak selalu tuntas selasai karena hanya berani ngomong bisik-bisik.

Harus memahami orang lain tanpa hak untuk dimengerti.  Peraturan yang tidak tertulis tetapi diterapkan bagi orang baru. Mulai dipengaruhi untuk membenci bahkan sebelum mengenal lebih jauh siapa orang tersebut.

Terus, terus bagaimana trik agar bisa bertahan ketika diberi rezeki tinggal di lingkungan yang tidak waras?

Kelakuan pertama: hindari jika bisa

Secara alamiah orang-orang curhat untuk mendapatkan pembenaran bukan benar-benar solusi dari permasalahan yang sedang dihadapi. Wanita apalagi. Tidak suka ada wanita yang lain terlihat lebih cantik, kaya, atau mencolok dibanding dirinya *ini mah emak sensi kalau kalian sih yahud.

Pada saat sore hari dan sedang menyuapi anak di luar rumah atau mengawasi anak bermain  terus ada yang nyamperin buat menggunjingkan penghuni lain sebaiknya tidak menanggapi.

Pemecah kebekuan yang paling mujarab memang mengumbar aib baik itu aib sendiri atau orang lain. Berusahalah untuk tidak terpancing karena jika sudah kena bisa susah lepasnya.  Memang baik jika sebelum benar-benar terjun ke masyarakat, cari informasi yang objektif tentang tetangga kanan kiri. Biar tidak salah ambil sikap. 

Menghindari di sini lebih ke pembicaraan atau kegiatan yang kurang bermanfaat. Ngerumpi, ngajak berantem, apalagi sampai adu jambak.

Kelakuan kedua: berbicara yang baik kalau tidak bisa tutup mulut

Gerakan tutup mulut sekarang jauh lebih mudah dibandingkan dengan gerakan jaga jempol. 
Namun begitu, lingkungan nyata nan tidak waras merupakan tantangan tersendiri bagi para kontraktor macam kami. Lebih mudah untuk tidak menahan diri dan ikut terlibat dalam pergaulan yang merusak.

Butuh doa dan usaha yang kuat agar Tuhan bantu mengendalikan lidah untuk berbicara baik. 

Kelakuan ketiga:  jadilah hantu saat diperlukan

Nongol jika dibutuhkan saja, selebihnya di rumah atau melakukan kegiatan yang ada manfaatnya. 

“Ibu di rumah nomor 30 itu kok jarang kelihatan ya.”
“Ah sudah ada grup WA kenapa harus repot. Entar juga datang kalau memang dia mau.”

Manusia kan makhluk sosial jadi ujungnya tetap akan butuh orang lain. Butuh ya bukan bergantung. Bergantung  hanya sama Tuhan saja. 

Kelakuan  keempat: berbagilah kelebihan yang bermanfaat

“Tante kan bisa masak, ayo kita masak bareng.”
“Ibu kalau nanam apa saja selalu berhasil. Bagi tipsnya dong.”
“Ih ini yang bisa ajarin bikin kue ayo dong melipir ke POS RT. Biar ada yang buat isi-isi toples pas lebaran.”

Rasanya bermanfaat itu begitu menyenangkan. Lebih menyenangkan dari menggunjingkan tetangga belakang rumah yang kalau karaoke suaranya cempreng abis. *upss

Di lingkungan paling tidak waras sekalipun, bisa terselip satu penghuni yang nantinya mengubah jadi lingkungan yang lebih baik.

Kelakuan kelima: mulai membaur dengan porsi secukupnya

Tidak terlalu dekat, tidak pula menjauhi. Secukupnya, seperlunya. Terkadang karena sudah terlalu dekat, hubungan justru sering minim komunikasi yang ada berharap orang lain yang mengerti.

Kenapa harus tetap membaur ketika kami tahu tinggal di tempat yang tidak waras? Tentu saja karena bagaimanapun juga kami tetap harus memuliakan tetangga.

***

Lingkungan yang menantang akan membuat kami tumbuh, mengasah toleransi, dan terus belajar ikhas. Bersyukur dan bersyukur dimana pun kami tinggal pada akhirnya membuat kami lebih menghargai apa yang kami miliki tidak melulu mengharapkan hidup seperti orang lain.

"Orang yang minim toleransi pasti sering hidup di lingkungan yang homogen sehingga gagap pluralisme." -Panji Pragiwaksono

(666) 

Tidak ada komentar