Bertahan dalam Keheningan



Sudah lama aku rindu. Rindu untuk ngobrol dengan diriku sendiri. Ekspektasiku terlalu tinggi. Aku ingin menyenangkan semua orang yang aku kenal. Bahkan yang tidak terlalu dekat. Lantas aku kelelahan.

Semua orang bersuara menginginkan perhatian yang penuh dan utuh. Tidak ada lagi sisa ruang dan waktu bahkan untuk memejamkan mata.

Aku mulai bermimpi buruk. Terus dan terus. Hingga akhirnya enggan untuk tidur.

Oh diriku, aku tahu aku lelah. Aku tahu aku ingin jeda. Namun apa kata orang nantinya? Mereka akan menjauhiku. Mereka akan dengan mudahnya meninggalkan aku. Aku dalam sekejap menjadi aku yang tak berguna.

Apakah aku tidak berhak memiliki keheningan? Hanya sekejap.

"Perjalanan yang berat adalah kembali ke diriku."

Berat karena ternyata aku terbiasa dengan hingar bingar hinaan, komentar sinis, bahkan sindiran-sindiran kasar.

Diriku begitu remuk redam. Waktuku berhenti pada saat aku dilecehkan. Bagai seonggok daging busuk yang hanya pantas dibuang ke tempat sampah.

Semakin keras aku berusaha mengubah diriku, semakin aku terperosok jauh ke dalam jurang kenistaan.

Aku yang berjuang keras agar aroma menyengatku tidak menguar.

Aku melihat diriku begitu palsu. Begitu ingin dipuja hingga mau melakukan apa saja. Diriku yang tak sadar jika aku sebenarnya gila.

"Bukan waktu yang menyembuhkan tetapi keheningan."

Suatu malam yang dingin, setelah terjaga hampir tiga malam, aku melihat pantulan mata panda di dalam kaca. Dia menyuguhkan senyum sinis yang tidak biasa. Dia tidak terima, "Harusnya kau ambil saja pisau dan tusukkan di nadimu. Aku bosan menjadi bulan-bulananmu."

Mata itu mulai mengalirkan air mata. Lama-lama semakin deras saja. Aku berusaha meraih dan memeluknya. Hanya diam. Aku bertemu dengan jiwaku. Hening. Tak ada percakapan. Malam ini adalah malam paling menenangkan selama hampir tiga puluh tahun aku berjuang.

"Maafkan aku diriku."

Riasan itu bukan untuk menggoda tetapi agar aku sadar kalau aku juga berhak merawat diriku.

Senyum-senyum riang mulai mengembang.

Apakah aku sudah berhasil memaafkan diriku untuk penganiayaan yang selama ini aku lakukan?

"Hidup selalu menawarkan pilihan, aku adalah hasil dari pilihanku."

Aku sendiri yang memilih untuk terus berkubang dalam penyesalanku. Aku sendiri pulalah yang akhirnya sadar dan memilih untuk mulai berubah. Belajar dari pengalaman-pengalaman pahit, bersyukur tanpa syarat, dan menghamba dengan ikhlas.

"Pilihan itu bebas, konsekuensi tidak."

Sekali aku memilih maka suka tidak suka aku akan menjalani konsekuensi. Bertahan dalam keheningan yang menakutkan di awal, sungguh berat. Tidak ada jaminan pasti aku akan menyadari keutuhan diriku. Namun kebebasan memilih itu aku iringi dengan doa. Doa agar apa yang aku pilih menjadi jalan yang terbaik bagi diriku.

"Tidak apa-apa jika terluka, menangis, bahkan mengurung diri."

Setiap emosi yang datang bak tamu yang aku izinkan masuk. Akan pergi jika aku biarkan. Akan bertahan jika terus aku tolak.

Ketika aku menerima tamu-tamu itu dengan baik. Menikmati setiap pengalaman yang mereka berikan. Terus bertahan untuk tidak kehilangan diriku sendiri maka aku akan melihat diriku sendiri sebagai pribadi tanggung yang terus bertahan baik dalam keadaan baik maupun buruk.

"Baper itu hanya kata, bukan akhir dunia."

Meremehkan diri sama dengan minum racun. Pelan tapi pasti aku akan mati. Lalu? Ya kembali lah pada keneningan. Menepi. Mengolah segala rasa agar bisa memilih dengan kesadaran yang utuh dan penuh.

(505)

Drama Pernikahan via Status Whatsapp



Sesederhana suami merespon status yang dibuat istrinya atau sebaliknya.

Ternyata setelah dirunut, seorang teman mengakui bahwa perhatian-perhatian kecil yang berujung pada senyum tersipu adalah bentuk komunikasi yang sering diremehkan para pasangan. 

"Halah sekedar komen atau like saja kok bikin baper."
"Lho justru dari perhatian remeh itulah komunikasi terbentuk sehingga saling memahami perasaan satu sama lain mulai terjalin."

Coba deh dipikir, karena sudah menikah lantas pasangan sama-sama bersikap 'kamu pasti paham apa mauku", pastilah percikan-percikan kesalahpahaman mulai menggigit. Apabila dibiarkan berkelanjutan maka drama-drama akan tercipta dan terpampang nyata.











Istri sering defensif dengan pujian-pujian suami padahal suami sangat suka ketulusannya diakui. 

"Ih pasti ada maunya deh."
"Lah ya gak masalah kalau maunya sama istri sendiri."

***

Drama-drama pernikahan sejatinya membuat masing-masing individu kembali pada pelajaran 'mengenal diri sendiri'. Kenapa begitu? Apa yang kamu suka bisa jadi apa yang tidak disukai oleh pasangan. Nah bagaimana menemukan jalan tengah hingga akhirnya sama-sama menerima adalah kembali pada keikhlasan diri. 

Kita bisa bilang kebahagiaan pernikahan adalah menerima diri lantas pasangan secara utuh dan penuh. Berdamai dengan mendengkur, tidak bisa bangun pagi, dan juga keahlian pasangan mengungkapkan perasaan.

Tentu saja akan ada masa berat, super berat bahkan tragedi. Namun ketika Tuhan buka jalan kita menuju pernikahan maka Tuhan buka juga jalan-jalan alternatif untuk kita menyelesaikan setiap drama-drama yang muncul.

Tidak melulu awal pernikahan adalah bulan madu. Ada banyak pasangan di luar sana yang mungkin menghadapi gelapnya gerhana bulan dalam pernikahannya. Langsung kerja keras melunasi hutang biaya pernikahan yang super mewah, tudingan yang masuk akal tentang married by accident, atau pertengkaran-pertengkaran diwarnai kekerasan akibat menikah karena terdesak umur. 

Maka dari itulah kesadaran masing-masing pasangan sesaat setelah menikah sangat dibutuhkan. Bahwa perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan pernikahan itu untuk dihadapi dengan kelegaan hati bukan sakit hati apalagi bikin sakit jiwa.

Apresiasi istri kepada suami dan sebaliknya, komunikasi yang dijaga, lantas ujian cinta yang mendewasakan semua.

Kejutan-kejutan dalam mengurangi rumah tangga belum tentu langsung dihadapi dengan pikiran terbuka, ada proses naik turun yang sejatinya mengubah suami istri baik menjadi dewasa atau membabi-buta.

Istri yang belum bisa mengungkapkan isi hati langsung, bertemu dengan suami yang selalu ingin berkomunikasi agar sama-sama menemukan jalan tengah. Saling. Tidak ada yang menang atau kalah.

Temukan alasan yang tepat untuk menikah lalu memperbaharui terus dan terus.

Cerita-cerita dalam kehidupan pernikahan tidak selalu indah. Banyak hal yang diceritakan pasangan mungkin saja rekayasa agar mereka tampak baik-baik saja juga sempurna. 

Pasangan yang menikah karena cinta perlu sadar bahwa setelah pesta meriah nan romantis itu perlu usaha yang tak kenal lelah untuk terus menjaga api cinta tetap menyala.

Tidak perlu rendah diri, hanya perlu memantas-mantas diri. 

Hanya karena kita sudah menikah terus kita menyerahkan kebahagiaan kita seolah itu tanggung jawab pasangan kita, SALAH BESAR! Kita tetap bertanggung jawab atas kebahagiaan kita sendiri.

Kalau ditanya nikah itu berat apa tidak? Kebanyakan pasangan akan jawab iya tetapi beratnya sebanding dengan kebahagiaan menemukan belahan jiwa yang memiliki visi, misi dan juga mimpi untuk diwujudkan bersama-sama. Impian-impian yang berubah menjadi life plan. Semua itu tentu saja dibicarakan sejak awal kalau pun tidak, biasanya setelah ada anak maka semua kehidupan pernikahan kembali ke titik awal. Nah, di waktu itulah pasangan bisa membicarakan visi, misi, dan mimpi bersama dengan anak.

Jadi ketika drama-drama menghampiri hadapi dengan nyaman hati. Selamat menempuh hidup yang sesungguhnya!

(537)

5 Kelakuan untuk Bertahan di Lingkungan Tidak Waras


Sebagai kontaktor atau keluarga yang sering berpindah kontrakan, kami mulai mengerti bagaimana membedakan berperilaku di lingkungan sekitar.  Lingkungan tidak waras membuat para penghuninya menghabiskan waktu untuk hal-hal yang sia-sia seperti bergunjing atau mengajak berantem.

Ibu sering baper tetapi mulai belajar berdamai saat anak-anaknya rebutan mainan dengan teman-temannya terus pulang sambil menangis.  Anak-anak terkontaminasi dengan kata-kata kasar yang digunakan teman-temannya. Belum lagi kalau ada yang membanding-bandingkan harta satu sama lain.

Butuh waktu hampir lima tahun jatuh bangun. Akhirnya kami bahu membahu agar bisa memahami dan teguh dengan prinsip yang dipegang. 

Ayah terus menerus memotivasi ibu dan anak-anak agar tidak hanyut di dalam lingkungan yang tidak waras. Sebagai kepala rumah tangga sekaligus yang paling logis diantara kami, tidak cepat terbawa emosi, dan juga yang paling bisa menghindari konflik.

Sementara ibu harus berjuang lebih keras jika berkaitan dengan emosi. Ingatkah ibu saat pertama datang ke Jakarta? Baru punya bayi dan begitu idealis dengan segala kesempurnaan yang dimiliki. Lalu lingkungan kontrakan dengan berbagai macam latar belakang membuat ibu muda ini kambuh gilanya. Konflik-konflik dari mulai sepele hingga besar tidak selalu tuntas selasai karena hanya berani ngomong bisik-bisik.

Harus memahami orang lain tanpa hak untuk dimengerti.  Peraturan yang tidak tertulis tetapi diterapkan bagi orang baru. Mulai dipengaruhi untuk membenci bahkan sebelum mengenal lebih jauh siapa orang tersebut.

Terus, terus bagaimana trik agar bisa bertahan ketika diberi rezeki tinggal di lingkungan yang tidak waras?

Kelakuan pertama: hindari jika bisa

Secara alamiah orang-orang curhat untuk mendapatkan pembenaran bukan benar-benar solusi dari permasalahan yang sedang dihadapi. Wanita apalagi. Tidak suka ada wanita yang lain terlihat lebih cantik, kaya, atau mencolok dibanding dirinya *ini mah emak sensi kalau kalian sih yahud.

Pada saat sore hari dan sedang menyuapi anak di luar rumah atau mengawasi anak bermain  terus ada yang nyamperin buat menggunjingkan penghuni lain sebaiknya tidak menanggapi.

Pemecah kebekuan yang paling mujarab memang mengumbar aib baik itu aib sendiri atau orang lain. Berusahalah untuk tidak terpancing karena jika sudah kena bisa susah lepasnya.  Memang baik jika sebelum benar-benar terjun ke masyarakat, cari informasi yang objektif tentang tetangga kanan kiri. Biar tidak salah ambil sikap. 

Menghindari di sini lebih ke pembicaraan atau kegiatan yang kurang bermanfaat. Ngerumpi, ngajak berantem, apalagi sampai adu jambak.

Kelakuan kedua: berbicara yang baik kalau tidak bisa tutup mulut

Gerakan tutup mulut sekarang jauh lebih mudah dibandingkan dengan gerakan jaga jempol. 
Namun begitu, lingkungan nyata nan tidak waras merupakan tantangan tersendiri bagi para kontraktor macam kami. Lebih mudah untuk tidak menahan diri dan ikut terlibat dalam pergaulan yang merusak.

Butuh doa dan usaha yang kuat agar Tuhan bantu mengendalikan lidah untuk berbicara baik. 

Kelakuan ketiga:  jadilah hantu saat diperlukan

Nongol jika dibutuhkan saja, selebihnya di rumah atau melakukan kegiatan yang ada manfaatnya. 

“Ibu di rumah nomor 30 itu kok jarang kelihatan ya.”
“Ah sudah ada grup WA kenapa harus repot. Entar juga datang kalau memang dia mau.”

Manusia kan makhluk sosial jadi ujungnya tetap akan butuh orang lain. Butuh ya bukan bergantung. Bergantung  hanya sama Tuhan saja. 

Kelakuan  keempat: berbagilah kelebihan yang bermanfaat

“Tante kan bisa masak, ayo kita masak bareng.”
“Ibu kalau nanam apa saja selalu berhasil. Bagi tipsnya dong.”
“Ih ini yang bisa ajarin bikin kue ayo dong melipir ke POS RT. Biar ada yang buat isi-isi toples pas lebaran.”

Rasanya bermanfaat itu begitu menyenangkan. Lebih menyenangkan dari menggunjingkan tetangga belakang rumah yang kalau karaoke suaranya cempreng abis. *upss

Di lingkungan paling tidak waras sekalipun, bisa terselip satu penghuni yang nantinya mengubah jadi lingkungan yang lebih baik.

Kelakuan kelima: mulai membaur dengan porsi secukupnya

Tidak terlalu dekat, tidak pula menjauhi. Secukupnya, seperlunya. Terkadang karena sudah terlalu dekat, hubungan justru sering minim komunikasi yang ada berharap orang lain yang mengerti.

Kenapa harus tetap membaur ketika kami tahu tinggal di tempat yang tidak waras? Tentu saja karena bagaimanapun juga kami tetap harus memuliakan tetangga.

***

Lingkungan yang menantang akan membuat kami tumbuh, mengasah toleransi, dan terus belajar ikhas. Bersyukur dan bersyukur dimana pun kami tinggal pada akhirnya membuat kami lebih menghargai apa yang kami miliki tidak melulu mengharapkan hidup seperti orang lain.

"Orang yang minim toleransi pasti sering hidup di lingkungan yang homogen sehingga gagap pluralisme." -Panji Pragiwaksono

(666)