Sky World TMII, 5 Pelajaran bagi Orangtua dalam Mendidik Anak


Orang bilang mendidik anak tidak ada sekolahnya tetapi jangan sampai tidak ada ilmu sama sekali. Lantas menyerahkan semua hal yang berkaitan dengan pendidikan ke sekolah atau kepada orang lain. Terus bagaimana dengan para ibu yang dianugerahi kepercayaan untuk bekerja di ranah domestik atau bahasa kerennya "stay home mom"? Para ibu yang punya waktu lebih dari 24 jam sehari bersama dengan anak-anak di rumah.

“Aku mah gak sanggup, bisa gila aku kalau gak kerja di luar.”
“Sehari-hari ya urusannya itu-itu aja. Urus makanan mereka, mandiin, belum lagi kalau baru mulai toilet training. Bosan banget kalau gak pintar-pintar atur waktu.

Setiap orangtua memiliki gayanya masing-masing dalam mendidik anak. Namun akan jadi gila atau bosan bila tidak ada ilmu yang  bisa diaplikasikan untuk bertahan melalui hari-hari berat nan drama. Ya akan ada yang protes dan bilang, “Ah istriku lulusan pendidikan anak usia dini kok, masa iya gak bisa menangani anak-anak.”

Terkadang begitulah hidup, kenyataan tak semudah teori yang sudah dipelajari. Banyak improvisasi yang tak terduga atau tak terpikirkan justru bisa jadi jalan menyudahi drama gerakan tutup mulut.

Berawal dari kegalauan punya ilmu tetapi belum bisa menerapkan secara maksimal inilah, aku mulai mencatat pengalaman-pengalaman yang aku dapatkan selama mendampingi duoG. Pelajaran-pelajaran yang tersaji setiap hari berusaha aku dokumentasikan baik dalam catatan, foto, ataupun video. Supaya apa? Pada saat sedang terpuruk dan butuh motivasi, aku bisa dengan mudah mengingat kembali semangat-semangat yang terselip dalam setiap dokumentasi.

Pelajaran pertama: orangtua harus yakin dengan Tuhan sebelum meminta anak untuk percaya.


“Ibu, Tuhan itu apa?”

Siap atau tidak siap, pertanyaan itu akan muncul suatu saat nanti dari mulut anak-anak. Bagaimana aku bisa menjawab sedangkan aku sediri pun masih mencari? Ya orangtua bisa saja punya banyak alibi untuk mengalihkan pertanyaan itu atau berusaha menemukan bersama anak tetapi anak akan dengan mudah menemukan celah kurang yakinnya orangtua. Jika orangtua belum bisa memberikan kenyamanan akan Tuhannya kepada anak, anak akan mencari di luar hingga anak merasa terpuaskan rasa penasarannya.

Nah, inilah yang menjadi motivasi aku pribadi untuk menguatkan keyakinanku agar nantinya saat anak bertanya aku sudah siap.

Selain itu kenapa keyakinan  akan Tuhan ini aku letakkan pertama dan sedini mungkin akku mengenalkan Tuhan pada anak-anak karena aku sendiri parno dengan dunia luar yang sudah begitu ruwet. Tanpa bekal dari rumah, aku berpikir anak-anak akan tenggelam dengan cepat di lautan kesenangan yang menyesatkan.

Catatanku  saat belajar tentang meyakinkan diri akan adanya Tuhan adalah konsistensi memposisikan diri. Aku merasa memiliki tantangan tersendiri saat memposisikan rasa di tengah-tengah:  ekspektasi ada, ikhlas juga ada.

Ya Tuhan ada, Dia adalah pencipta kita, kepada Dialah kita kembali.

Setelah orangtua yakin akan Tuhannya maka anak-anak akan melihat dan mencontoh perilaku dan juga tidakan-tindakan orangtua. Apakah sudah sesuai dengan keyakinan atau malah melenceng jauh? Kembali lagi pada pilihan orangtua akan mendidik anak yang seperti apa. Anak yang yakin akan Tuhan atau yang seolah Tuhan hanya nama saja. 

Setelah memberikan contoh, orangtua biasanya berekspektasi tinggi anak akan segera paham dan mengaplikasikan. Nah disinilah tantangannya bagaimana terus memiliki ekspektasi yang masuk akal dan ikhlas saat anak ternyata punya jalannya sendiri untuk lebih paham.

Pelajaran kedua: berani menerima hal baru

Berada di zona nyaman sangatlah mengasyikkan. Tentu saja butuh tekad yang kuat dari orangtua untuk keluar.

Ketika anak-anak bertambah usia, bertambah juga keinginan masing-masing yang butuh pendampingan.  GianGaraGembul butuh ditemani piknik sementara DulDenGeni masih butuh ASI. Di sini muncul ide untuk sekalian mulai menyapih DulDenGeni yang sudah 27 bulan.

Ini adalah hal baru bagiku. Mau tidak mau aku harus adil sesuai porsi. Belajar lagi bagaimana adil tetapi sesuai dengan umur dan kebutuhan masing-masing anak.


Menemani piknik GianGaraGembul dengan total artinya menyerahkan kepercayaan pada suami untuk mengurus DulDenGeni. Ya sebentar-sebentar tentu saja kepikiran bagaimana DulDenGeni melalui harinya tetapi toh sudah dua tahun lebih, dia pasti bertahan. Padahal kalau mau tetap bertahan di zona nyaman sih bisa saja. Pulang dari piknik tinggal mengASIhi DulDenGeni lagi tetapi kan sayang usaha suami yang seharian berusaha memberikan pengertian kalau waktu ASI sudah cukup bagi DulDenGeni.


Aku ikutan tahu ada alat yang bisa bikin kita lihat matahari tanpa silau
Saat piknik, GianGaraGembul sangat menikmati waktu berduanya bersama aku. Kita banyak ngobrol dan saling tanya jawab seputar hal baru apa saja yang dia pelajari. Ternyata tidak hanya anak-anak yang belajar, aku sebagai ibunya juga ikut kecipratan ilmunya. Hihihi…


Pelajaran ketiga: belajar itu menyenangkan

"Mendidik anak di rumah sama dengan mendidik diri. Jadi kuatkan diri dulu agar anak juga merasakan auranya." (phalupiahero)
Sebagai anak yang tumbuh dengan cara belajar yang serius, caraku tentu saja tidak akan bisa diterapkan pada anak-anakku yang dunianya masih bermain. Bermain sambil belajar. Oleh karena itu, aku mulai belajar lagi bagaimana caranya agar anak-anak selain bermain juga bisa mendapatkan ilmu yang nantinya berguna bagi mereka.

Pada saat pinik ke Sky World di TMII, GianGaraGembul  belajar tentang planet-planet dengan cara melihat dan mendengar narasi di planetarium. Dia menyamakan seperti masuk bioskop tetapi filmnya tentang planet-planet.


Tidak perlu bentakan atau teriakan bahkan diharuskan untuk menghafal. Bila anak senang secara otomatis dia akan meminta penjelasan dan mengulang-ulang hingga dia paham.

Setelah ini GianGaraGembul membuat lagu tentang planet-planet tetapi aku lupa merekam jadinya gak bisa diulangi deh
Kuat di sini tentu saja menahan ego untuk menuntut anak menjadi sempurna seperti apa yang aku inginkan sebagai orangtua. Betul kan? Tantangan untuk menyesuaikan ekspektasi dan juga mengikhlaskan segala sesuatu sesuai porsinya.

“Sudah cukup Nak. Memang seginilah porsimu.”



Pelajaran keempat: memberikan kepercayaan penuh pada anak

"Tegas bukan keras. Sayang bukan lemah. Tuntas tidak setengah-setengah." (phalupiahero)
Menuntut anak sempurna seperti apa yang ada di kepala orangtua adalah kekonyolan. Tuntutan ini akan menjadi kekerasan, kadang berubah menjadi tidak konsisten, dan akhirnya setengah-setengah dalam mendidik anak-anak.

Anak-anak memiliki fitrah yang luar biasa. Tanpa disadari fitrah anak-anak (rasa ingin tahu, imaginasi kreatif, seni untuk menemukan, dan akhlak mulia) justru malah mati sebelum berkembang saat bersama dengan orangtua.

Rasa ingin tahu anak musnah oleh kalimat, “Sebentar ya, ayah kerja dulu.”

Imaginasi kreatif anak menghilang karena sanggahan,”Ibu sibuk. Kita bikin mobil-mobilannya nanti saja ya.”

“Ibu lihat, ada rumah semut.” Tanpa penjelasan si ibu menarik anaknya dari sarang semut api. Padahal bisa saja ibu menjelaskan apa itu rumah semut yang sudah ditemukan anaknya. Kenapa harus melihat dari jarak aman?

“Ayah, kasihan ya itu anaknya. Dia gak punya rumah.”

“Ah mereka hanya orang malas yang gak mau bekerja dan memilih untuk mengemis.”

Kepercayaan penuh pada anak layak diberikan karena Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Penyayang memberikan anak fitrah yang luar biasa. Oleh karena itu orangtua harus berjuang untuk mendidik agar fitrah anak tidak hilang. Dari kepercayaan inilah rasa percaya diri anak terbentuk. Tidak masalah dia mendapatkan kejutan-kejutan kesulitan, dari sanalah anak belajar untuk yakin pada diri sendiri dan menemukan solusi.

Jangan sampai anak tidak mau mencoba karena yang dia lihat hanya kesulitan karena tidak percaya diri untuk mencoba.

Pelajaran kelima: berterima kasih pada anak untuk setiap kemajuan kecil yang anak tunjukkan

Tiga kalimat sakti yang susah diucapkan orangtuaku adalah tolong, maaf, terima kasih. Alhamdulillah aku sempat bekerja sebagai guru anak usia dini yang membiasakan anak-anak dengan tiga kalimat sakti itu. Awalnya memang tidak mudah tetapi ketika anak-anak mulai terbiasa, rutinitas menjadi lebih menyenangkan.

“Terima kasih ya nak, sudah mau mendengarkan ibu.”

“Terima kasih sudah mau bantu ibu membereskan barang-barangmu sendiri.”

Berpose sebelum berangkat piknik setelah memberekan barang-barang dan menata di dalam bagasi.
Sangat menyenangkan melalui hari dengan kata terima kasih untuk hal-hal kecil yang membahagiakan

Butuh satu kampung untuk mendidik seorang anak. Bahu membahu bersama pasangan dan juga sesama orangtua dalam satu komunitas. Terus menerus konsisten belajar agar anak juga melihat orangtua sebagai teladan dalam mendapatkan ilmu dan mempraktikkannya. 

Alah bisa karena biasa, bukanlah orangtua bila tak mendidik
(1.176)

Tidak ada komentar