Sky World TMII, 5 Pelajaran bagi Orangtua dalam Mendidik Anak


Orang bilang mendidik anak tidak ada sekolahnya tetapi jangan sampai tidak ada ilmu sama sekali. Lantas menyerahkan semua hal yang berkaitan dengan pendidikan ke sekolah atau kepada orang lain. Terus bagaimana dengan para ibu yang dianugerahi kepercayaan untuk bekerja di ranah domestik atau bahasa kerennya "stay home mom"? Para ibu yang punya waktu lebih dari 24 jam sehari bersama dengan anak-anak di rumah.

“Aku mah gak sanggup, bisa gila aku kalau gak kerja di luar.”
“Sehari-hari ya urusannya itu-itu aja. Urus makanan mereka, mandiin, belum lagi kalau baru mulai toilet training. Bosan banget kalau gak pintar-pintar atur waktu.

Setiap orangtua memiliki gayanya masing-masing dalam mendidik anak. Namun akan jadi gila atau bosan bila tidak ada ilmu yang  bisa diaplikasikan untuk bertahan melalui hari-hari berat nan drama. Ya akan ada yang protes dan bilang, “Ah istriku lulusan pendidikan anak usia dini kok, masa iya gak bisa menangani anak-anak.”

Terkadang begitulah hidup, kenyataan tak semudah teori yang sudah dipelajari. Banyak improvisasi yang tak terduga atau tak terpikirkan justru bisa jadi jalan menyudahi drama gerakan tutup mulut.

Berawal dari kegalauan punya ilmu tetapi belum bisa menerapkan secara maksimal inilah, aku mulai mencatat pengalaman-pengalaman yang aku dapatkan selama mendampingi duoG. Pelajaran-pelajaran yang tersaji setiap hari berusaha aku dokumentasikan baik dalam catatan, foto, ataupun video. Supaya apa? Pada saat sedang terpuruk dan butuh motivasi, aku bisa dengan mudah mengingat kembali semangat-semangat yang terselip dalam setiap dokumentasi.

Pelajaran pertama: orangtua harus yakin dengan Tuhan sebelum meminta anak untuk percaya.


“Ibu, Tuhan itu apa?”

Siap atau tidak siap, pertanyaan itu akan muncul suatu saat nanti dari mulut anak-anak. Bagaimana aku bisa menjawab sedangkan aku sediri pun masih mencari? Ya orangtua bisa saja punya banyak alibi untuk mengalihkan pertanyaan itu atau berusaha menemukan bersama anak tetapi anak akan dengan mudah menemukan celah kurang yakinnya orangtua. Jika orangtua belum bisa memberikan kenyamanan akan Tuhannya kepada anak, anak akan mencari di luar hingga anak merasa terpuaskan rasa penasarannya.

Nah, inilah yang menjadi motivasi aku pribadi untuk menguatkan keyakinanku agar nantinya saat anak bertanya aku sudah siap.

Selain itu kenapa keyakinan  akan Tuhan ini aku letakkan pertama dan sedini mungkin akku mengenalkan Tuhan pada anak-anak karena aku sendiri parno dengan dunia luar yang sudah begitu ruwet. Tanpa bekal dari rumah, aku berpikir anak-anak akan tenggelam dengan cepat di lautan kesenangan yang menyesatkan.

Catatanku  saat belajar tentang meyakinkan diri akan adanya Tuhan adalah konsistensi memposisikan diri. Aku merasa memiliki tantangan tersendiri saat memposisikan rasa di tengah-tengah:  ekspektasi ada, ikhlas juga ada.

Ya Tuhan ada, Dia adalah pencipta kita, kepada Dialah kita kembali.

Setelah orangtua yakin akan Tuhannya maka anak-anak akan melihat dan mencontoh perilaku dan juga tidakan-tindakan orangtua. Apakah sudah sesuai dengan keyakinan atau malah melenceng jauh? Kembali lagi pada pilihan orangtua akan mendidik anak yang seperti apa. Anak yang yakin akan Tuhan atau yang seolah Tuhan hanya nama saja. 

Setelah memberikan contoh, orangtua biasanya berekspektasi tinggi anak akan segera paham dan mengaplikasikan. Nah disinilah tantangannya bagaimana terus memiliki ekspektasi yang masuk akal dan ikhlas saat anak ternyata punya jalannya sendiri untuk lebih paham.

Pelajaran kedua: berani menerima hal baru

Berada di zona nyaman sangatlah mengasyikkan. Tentu saja butuh tekad yang kuat dari orangtua untuk keluar.

Ketika anak-anak bertambah usia, bertambah juga keinginan masing-masing yang butuh pendampingan.  GianGaraGembul butuh ditemani piknik sementara DulDenGeni masih butuh ASI. Di sini muncul ide untuk sekalian mulai menyapih DulDenGeni yang sudah 27 bulan.

Ini adalah hal baru bagiku. Mau tidak mau aku harus adil sesuai porsi. Belajar lagi bagaimana adil tetapi sesuai dengan umur dan kebutuhan masing-masing anak.


Menemani piknik GianGaraGembul dengan total artinya menyerahkan kepercayaan pada suami untuk mengurus DulDenGeni. Ya sebentar-sebentar tentu saja kepikiran bagaimana DulDenGeni melalui harinya tetapi toh sudah dua tahun lebih, dia pasti bertahan. Padahal kalau mau tetap bertahan di zona nyaman sih bisa saja. Pulang dari piknik tinggal mengASIhi DulDenGeni lagi tetapi kan sayang usaha suami yang seharian berusaha memberikan pengertian kalau waktu ASI sudah cukup bagi DulDenGeni.


Aku ikutan tahu ada alat yang bisa bikin kita lihat matahari tanpa silau
Saat piknik, GianGaraGembul sangat menikmati waktu berduanya bersama aku. Kita banyak ngobrol dan saling tanya jawab seputar hal baru apa saja yang dia pelajari. Ternyata tidak hanya anak-anak yang belajar, aku sebagai ibunya juga ikut kecipratan ilmunya. Hihihi…


Pelajaran ketiga: belajar itu menyenangkan

"Mendidik anak di rumah sama dengan mendidik diri. Jadi kuatkan diri dulu agar anak juga merasakan auranya." (phalupiahero)
Sebagai anak yang tumbuh dengan cara belajar yang serius, caraku tentu saja tidak akan bisa diterapkan pada anak-anakku yang dunianya masih bermain. Bermain sambil belajar. Oleh karena itu, aku mulai belajar lagi bagaimana caranya agar anak-anak selain bermain juga bisa mendapatkan ilmu yang nantinya berguna bagi mereka.

Pada saat pinik ke Sky World di TMII, GianGaraGembul  belajar tentang planet-planet dengan cara melihat dan mendengar narasi di planetarium. Dia menyamakan seperti masuk bioskop tetapi filmnya tentang planet-planet.


Tidak perlu bentakan atau teriakan bahkan diharuskan untuk menghafal. Bila anak senang secara otomatis dia akan meminta penjelasan dan mengulang-ulang hingga dia paham.

Setelah ini GianGaraGembul membuat lagu tentang planet-planet tetapi aku lupa merekam jadinya gak bisa diulangi deh
Kuat di sini tentu saja menahan ego untuk menuntut anak menjadi sempurna seperti apa yang aku inginkan sebagai orangtua. Betul kan? Tantangan untuk menyesuaikan ekspektasi dan juga mengikhlaskan segala sesuatu sesuai porsinya.

“Sudah cukup Nak. Memang seginilah porsimu.”



Pelajaran keempat: memberikan kepercayaan penuh pada anak

"Tegas bukan keras. Sayang bukan lemah. Tuntas tidak setengah-setengah." (phalupiahero)
Menuntut anak sempurna seperti apa yang ada di kepala orangtua adalah kekonyolan. Tuntutan ini akan menjadi kekerasan, kadang berubah menjadi tidak konsisten, dan akhirnya setengah-setengah dalam mendidik anak-anak.

Anak-anak memiliki fitrah yang luar biasa. Tanpa disadari fitrah anak-anak (rasa ingin tahu, imaginasi kreatif, seni untuk menemukan, dan akhlak mulia) justru malah mati sebelum berkembang saat bersama dengan orangtua.

Rasa ingin tahu anak musnah oleh kalimat, “Sebentar ya, ayah kerja dulu.”

Imaginasi kreatif anak menghilang karena sanggahan,”Ibu sibuk. Kita bikin mobil-mobilannya nanti saja ya.”

“Ibu lihat, ada rumah semut.” Tanpa penjelasan si ibu menarik anaknya dari sarang semut api. Padahal bisa saja ibu menjelaskan apa itu rumah semut yang sudah ditemukan anaknya. Kenapa harus melihat dari jarak aman?

“Ayah, kasihan ya itu anaknya. Dia gak punya rumah.”

“Ah mereka hanya orang malas yang gak mau bekerja dan memilih untuk mengemis.”

Kepercayaan penuh pada anak layak diberikan karena Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Penyayang memberikan anak fitrah yang luar biasa. Oleh karena itu orangtua harus berjuang untuk mendidik agar fitrah anak tidak hilang. Dari kepercayaan inilah rasa percaya diri anak terbentuk. Tidak masalah dia mendapatkan kejutan-kejutan kesulitan, dari sanalah anak belajar untuk yakin pada diri sendiri dan menemukan solusi.

Jangan sampai anak tidak mau mencoba karena yang dia lihat hanya kesulitan karena tidak percaya diri untuk mencoba.

Pelajaran kelima: berterima kasih pada anak untuk setiap kemajuan kecil yang anak tunjukkan

Tiga kalimat sakti yang susah diucapkan orangtuaku adalah tolong, maaf, terima kasih. Alhamdulillah aku sempat bekerja sebagai guru anak usia dini yang membiasakan anak-anak dengan tiga kalimat sakti itu. Awalnya memang tidak mudah tetapi ketika anak-anak mulai terbiasa, rutinitas menjadi lebih menyenangkan.

“Terima kasih ya nak, sudah mau mendengarkan ibu.”

“Terima kasih sudah mau bantu ibu membereskan barang-barangmu sendiri.”

Berpose sebelum berangkat piknik setelah memberekan barang-barang dan menata di dalam bagasi.
Sangat menyenangkan melalui hari dengan kata terima kasih untuk hal-hal kecil yang membahagiakan

Butuh satu kampung untuk mendidik seorang anak. Bahu membahu bersama pasangan dan juga sesama orangtua dalam satu komunitas. Terus menerus konsisten belajar agar anak juga melihat orangtua sebagai teladan dalam mendapatkan ilmu dan mempraktikkannya. 

Alah bisa karena biasa, bukanlah orangtua bila tak mendidik
(1.176)

Baca, Pahami, Klik Bagi!

Ceritanya mau menulis tentang cara berdamai dengan "masa depan" tetapi setelah perubahan suasana hati yang signifikan jadi ganti haluan. Apaan? Curhat lah!

Semenjak berniat menulis secara runut, aku sekarang lagi banyak baca. Entah itu baca cepat atau baca mendalam hingga selesai satu buku.

Nah saking rajinnya sampai-sampai copas yang panjang mirip kereta juga dibaca. Lagi asyik baca ada pesan baru yang masuk, inti pesan itu sih sebenarnya agar lebih waspada menyikapi maraknya para penjahat yang mengincar anak-anak. Namun pilihan katanya tidak membangkitkan rasa hati-hati melainkan paranoid.

Sebagai seorang penyintas *korban KDRT dan pelecehan, ada semacam alarm yang aktif. Semua kejadian terulang dan memberikan serangan panik serta dada berdebar. Ada semacam tusukan-tusukan di area dada dan punggung.

"Siapa yang menulis? Apakah kamu menulisnya sendiri?" aku bertanya dengan berusaha menjaga tangan-tangan yang gemetar.
"Tidak aku hanya copas," ujarnya enteng.

Inginku mengumpat tetapi percuma, aku tahu dia adalah manusia bebal. Lagi pula, berbalas pesan marah tak akan menyelesaikan masalah.

"Apakah kamu membaca isi pesan yang kamu copas? Apakah kamu sudah memahami isinya? Dan apakah kamu memikirkan perasaan apa yang akan tercipta jika para penyintas membaca?"
"Kan aku hanya berbagi saja."
"Bukankah tidak masuk akal membagi sesuatu tanpa kamu pahami esensi beritanya?"


Di dunia yang saat ini bergantung pada jari-jari yang klik share atau yang lebih parah asal copas tanpa tahu apa yang dibagi, nasib para pembaca teliti sungguh memprihatinkan. Kami harus berjuang dengan keras untuk memberikan edukasi pada orang-orang yang jarinya tidak disekolahkan dengan baik lalu mendapat pandangan sinis. 

Jika kamu sendiri saja malas membaca copas sepanjang itu kenapa menyuruh orang lain untuk membacanya? Tolong lah untuk mulai membaca dengan pelan lalu dipahami baru setelah kamu yakin itu bermanfaat bagi orang lain barulah kamu bagi.

Niatnya memang berbagi makanya kamu harus benar-benar memastikan kalau berita yang kamu bagi itu berguna.

"Ah begitu aja dibikin ribet sih!"

Ya kalau kamu gak mau ribet ya gak usah berbagi artikel yang tidak kamu tulis sendiri, tidak kamu baca, bahkan tidak kamu pahami. Masih banyak cara lain untuk eksis di grup WA atau media sosial dengan cara yang baik.


Tulisan apabila kamu membaca dan memahaminya dengan baik, bisa memberikan efek luar biasa. Tulisan bisa mengubah sudut pandang seseorang, membuat orang sadar, atau mungkin jadi seseorang yang jahat. Belum lagi menambah keyakinan akan sesuatu yang menjadikannya fakta-fakta yang mungkin dia jadikan sumber informasi yang relevan dalam menyelesaikan masalah.

Terus bagaimana kalau tulisan yang kamu bagi adalah hoax?

orang bijaksana pasti berusaha membagi berita yang sudah dipastikan itu fakta
Selain itu, bukankah membahagiakan jika sesuatu yang kita bagi memberikan efek senyum-senyum simpul mengingat kenangan manis bukan justru membuat tangisan merana meledak. Butuh banyak masukan dan kenangan indah yang banyak untuk sekedar menghapus satu kenangan buruk.


"Semua orang bodoh bisa tahu. Masalahnya adalah bagaimana memahaminya."                - Albert Einstein-
Baca, pahami, klik bagi! Kalau kamu memang tidak ingin kebodohanmu menjadi rahasia umum maka benar-benar pahamilah sesuatu sebelum kamu bagi. Lebih bagus lagi masukkan empati pada setiap hal yang kamu bagi.

Berbagi kan agar dinikmati banyak orang maka jangan biarkan orang lain justru merasakan khawatir, gelisah, bahkan bersedih hati.

Mari pahami sebelum berbagi, mari berempati bukan menghakimi., dan mulai dari diri sendiri yang mau membaca dengan teliti.

(502)

Serba-Serbi Status Whatsapp tentang Romantisme dalam Pernikahan



Pernikahan bisa berakhir kapan saja dan sebabnya bisa apa saja, pernikahan memang lebih mudah diselenggarakan dan pastinya lebih menantang saat mempertahankan.

Tentu dalam  era yang serba diukur dengan viral, kita harus siap mendapatkan nyinyiran ketika mengumbar romantisme di media sosial. Meskipun begitu, semua selalu bisa kembali lagi ke yang menjalani, ketika ungkapan di media sosial dimaksud untuk membangkitkan romantisme yang mati suri, kenapa harus peduli apa kata orang. Sulit memang tetapi bukan berarti tidak ada jalan. Menahan diri untuk tidak mengumbar sama sulitnya dengan berhenti membandingkan.

Dalam menjalani pernikahan, setiap pasangan memiliki cara berbeda untuk membangun romantisme. Kadang-kadang menjadi sulit ketika istri atau suami terlalu membanding-bandingkan dengan kehidupan pernikahan saudara atau teman.

"Selalu ingat Tuhan dalam setiap langkah saat membina rumah tangga maka jalan selalu terbuka."

Menikah melengkapi separuh agama. Mencintai karena Allah. Tuhan lagi, Tuhan selalu, kembali ke Tuhan.

Romantisme tidak melulu berurusan dengan ranjang, mesra bisa saja didapat saat pasangan sama-sama mendekatkan diri kepada Sang Pencipta agar selalu diberikan jalan untuk mengingat bahwa kehidupan di dunia ini fana. Akhirat sajalah yang akan menjadi akhirnya.

Godaan demi godaan datang silih berganti. Baik itu dari suami maupun istri. Perjuangan untuk terus bersama setelah badai terlewati. 

Tinggal mengubah sudut pandang. Semua yang dijalani semata untuk meraih cinta Illahi.


                          
Seseorang yang namanya tertulis di buku hijauku, yuk sehidup sesurga kaya romantisme buku Fahd

Awal dari kelekatan antara suami istri bisa jadi hanya dari hal-hal sepele yang tampak tidak menggoda. Walaupun demikian, perhatian tetaplah perhatian. Aksi nyata jauh lebih nikmat ketimbang bualan kata-kata.

Nasi goreng, mie instan plus telur, atau satu gelas susu hangat berdua sebagai pengantar tidur. 



Tentu saja tidak perlu sesuatu yang mewah nan berharga selangit. Sekedar dapat perhatian penuh tanpa diduakan dengan ponsel saja sudah bahagia. Sebentar bisa ngobrol ketika anak-anak sibuk bermain juga membuat dada berbunga.



 
Tentu setiap orang punya recehnya masing-masing, hanya terkadang perlu diingatkan untuk bisa melihat dengan mata dan hati terbuka

Bila ternyata romantisme sudah dilengkapi dengan kehadiran anak-anak maka nikmati saja. Berikan pemandangan yang membuat anak-anak tahu apa itu cinta. 



Nah ini,  aku ambil pelajarannya dari cerita teman-teman yang mampir. Betapa saling memahami satu sama lain baik dari kekurangan maupun kelebihan. 

Suatu malam yang cerah, aku ketemu teman. Kami ngobrol ngalor ngidul hingga pada satu titik dia memandang kosong sambil menahan sesak, "Andai aku tidak terlalu bangga pada pernikahanku yang baik-baik saja, pastilah hari ini kita akan double date ya."

Ada apa nih? Ternyata oh ternyata, suami temanku ini diambil oleh teman kerjanya. Si teman yang sudah dianggap adik sendiri ini jatuh cinta dengan suami karena setiap hari disuguhi betapa sempurnanya si suami itu. Begitu bertemu dia memutuskan untuk mengambil jalan pintas, menyerahkan banyak uang pada mbah dukun, dan mendapatkan cinta si suami.



"Ketika pacaran semua tampak baik-baik saja kenapa ketika menikah yang tampak kekurangannya terus."

Kita sering diingatkan untuk menghargai apa yang kita miliki, mau seburuk apapun itu. Kenapa? Karena mungkin saja apa yang buruk bagi kita ternyata itulah yang terbaik. Kita hanya belum sadar, belum bisa melihat dengan hati dan pikiran yang jernih.

"Suamimu walaupun sering keluar kota, kan kamunya diajak. Tahu dia ngapain aja. Lha aku, ikut gak dikasih uang belanja tambahan juga gak."

Jika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan kita maka sebaiknya bicarakan dengan suami bukan mengumbar aib rumah tangga ke semua kolega. Bisa saja sampai ke telinga mantan yang masih sayang lalu dimanfaatkan untuk merebut kembali.

Bersyukur dan terus bersyukur. Tidak adalah manusia yang sempurna tetapi jika kita meminta pada Tuhan untuk selalu dibuka jalan keluar, semoga romantisme dan juga kemesraan akan menghiasi pernikahan kita.

(588)

Serba-Serbi Status Whatsapp tentang Komunikasi dalam Pernikahan





Aku pribadi masih meneliti tentang apa yang membuat pasangan atau dua orang bisa gagal berkomunikasi. Padahal boleh dibilang komunikasi adalah hal yang mudah dilakukan. Tinggal menyampaikan apa yang ingin orang lain pahami dari aku. Namun sejauh ini, ada tiga hal yang paling mendasar yang aku temukan. *bisa terus bertambah seiring berjalannya penelitian

"Hal paling penting dalam komunikasi adalah mendengarkan apa yang tidak dikatakan." (Peter F. Drucker)
1. Belum sadar sepenuhnya apa yang ingin disampaikan atau didapatkan saat berkomunikasi 

Ngobrol hanya digunakan sebagai ajang basa-basi bukan untuk menggali dan menemukan makna dari setiap kata yang keluar. Padahal jika dilakukan dengan sadar maka dalam setiap obrolan yang terjadi, kita bisa menemukan ide-ide bagus untuk ditulis atau mungkin jawaban dari pertanyaan yang sedang kita cari.

Nah ketika menikah, dua orang asing bersatu lalu berusaha mengeksplorasi sepanjang hidup, maka mau tidak mau harus belajar komunikasi produktif. Dimana dua orang membicarakan solusi dan menemukan yang terbaik agar sama-sama menerima solusi dengan baik serta benar.

Jika tidak segera sadar maka kehidupan pernikahan hanya akan diisi dengan pertengkaran juga percekcokan tiada akhir.

Apabila belum memiliki momongan maka sebaiknya mulailah membuka diri bersama pasangan agar bisa saling memahami dan mengisi baik itu kelemahan maupun kelebihan. Bila telah memiliki anak pasangan bisa jadi tim yang baik dan anak pun akan bisa mencontoh pola komunikasi produktif yang dipraktikkan kedua orangtua mereka.





Merasa sungkan atau malu saat membicarakan masalah keuangan. Padahal dalam berumah tangga semua pemasukan atau pengeluaran sebaiknya diketahui baik suami maupun istri. Hidup bersama tetapi tidak tahu satu sama lain lantas untuk apa?


Hal-hal yang tidak dikomunikasikan bisa jadi bom yang sewaktu-waktu meledak dan menghancurkan hubungan pernikahan. Sudah tidak perlu lagi gengsi karena toh sudah sehidup yang kalau bisa semati. Pemasukan dari suami, tiap rupiah yang dibelanjakan, dan juga recehan dalam tabungan sebaiknya sama-sama tahu. 


Suami tidak heran kalau istri cantik karena tahu uang dari amplop mana yang digunakan. Istri juga tidak merengut ketika suami pulang dari gym karena paham ada tunjangan dari kantor agar suami senantiasa sehat serta bugar.


2. Hanya fokus pada-kata bukan intonasi suara bahkan bahasa tubuh





Gagalnya komunikasi sering disebabkan karena kurang jelinya pasangan membaca bahasa tubuh. Mulut bilang, “Gak papa.” Terus muka berubah jadi lipatan baju yang belum disetrika, terus apakah gak papa itu kejujuran? Di sinilah kepekaan masing-masing pasangan diuji. Istri sama halnya dengan suami, perlu waktu yang pas agar pembicaraan bisa berjalan dengan terbuka. Oleh karena itu, saling memahami waktu ideal masing-masing untuk berkomunikasi adalah jalan keluar agar komunikasi menghasilkan solusi bukan petisi.

3. Hanya berusaha mendengar tanpa mau memastikan apakah yang kesimpulan dalam pikiran sudah sesuai

Setiap kepala memiliki isi yang bila berhubungan dengan orang lain biasanya cenderung menyimpulkan sesuai dengan milik sendiri. 

“Aku kira kamu suka makanan yang aku buat. Kamu tidak pernah komplain.”
“Ya kamunya aja yang gak pernah nanya pendapatku apakah aku suka apa gak.”

Perdebatan  setelah makan malam dengan sajian ikan goreng yang hampir gosong. Istri sengaja memancing pendapat suami dan suami makan dengan nikmat karena bersyukur istrinya bisa memasak untuknya. Tidak peduli dengan gosongnya ikan yang terpenting adalah semangat istri untuk menyajikan makanan di meja makan mereka. 

Tidak akan terjadi perdebatan jika suami memberitahu istri betapa dia bersyukur bukan hanya menampakkan lahapnya saja. Ya terkadang istri butuh penegasan dengan kata dan suami juga butuh ditanya.







Komunikasi juga berkembang sejalan dengan kemauan seseorang untuk bertumbuh. Apabila seseorang sadar posisinya sebagai istri lalu melihat suami dengan jelas baik itu kekurangan maupun kelebihan maka akan selalu menemukan solusi dari setiap tantangan yang muncul.

Selalu mengedepankan komunikasi dua arah meski situasi begitu buruk, penuh kemarahan juga teriakan.

                


   

"Siapapun suami atau istri kita, dia adalah yang sesuai dengan kita. Kita hanya perlu buka hati terus dan terus."

 (606)

[Komentar Apik] Jurnal Ibu Pembelajar, Kembali ke Fitrah Anak


Judul       :  Jurnal Ibu Pembelajar (Sebuah Kumpulan Catatan Praktek Membersamai Ananda untuk
                  Menyemai dan Membumikan Pendidikan Berbasis Fitrah dalam Keseharian)

Penulis    :  Farda Semanggi dan Tim Kontributor

Penerbit   :  Sinar Gamedia

Tahun      :  2018

Halaman  :  211

"... menganggap tugas mendidik anak-anaknya selesai ketika menyekolahkan anak-anaknya, apalagi di sekolah mahal dengan kurikulum ganda."  (halaman 12)

Kutipan di atas cukup membuatku tertegun. Pendidikan anak ini sudah lama menjadi pemikiran yang tak kunjung jadi nyata. Sesegera mungkin menyekolahkan anak, berpikir bahwa anak akan kekurangan perhatian jika adik sudah lahir dan teman-teman bisa jadi obat sepi ketika aku, ibunya sibuk dengan bayi yang baru lahir.

Pada saat anak sudah nyaman dengan guru dan teman-temannya, keadaan mengharuskan kami pindah dan si sulung dipaksa untuk berpindah dari lingkungan yang sudah nyaman baginya ke lingkungan baru.

Ada semacam guncangan yang belum siap dia terima. Aku ibunya malah sibuk meyakinkan diri kalau dengan sekolah baru dia akan dapat teman yang lain. Ya aku baru menyadari setelahnya bahwa sebelum menikmati, aku harus menemani dia melalui masa sulit penyesuaian dengan memperkenalkan padanya bahwa perubahan itu pasti. Bukan langsung memaksa dia masuk ke sekolah baru dengan menekan rasa rindu pada sekolah yang terdahulu.

Ya ya ya, aku terlalu ingin lepas tanggung jawab ketika sudah menyekolahkan anak. Memaksa si sulung memahami tanpa mencoba menyelami apa yang sebenarnya di alami dan lalui.

Si sulung mulai bosan, tidak nyaman, dan akhirnya mogok sekolah. Aku pada akhirnya menerima saja sambil pelan-pelan mengevaluasi apa yang salah pada diriku.

Keinginan untuk mengurangi rasa bersalah membuatku berpikir: aku kan dulu pernah mengajar, kenapa tidak mempraktikkan dengan anak sendiri?

Aku memikirkan banyak rencana-rencana sempurna agar bisa digunakan di rumah, bermain bersama anak-anak.

"... tidak berapa lama kemudian sering berubah menjadi frustrasi karena apa yang dibayangkan indah dan disusun mewah itu kemudian tidak berjalan mulus bahkan cenderung stagnan." (halaman 16)

Hah! Tidak mudah ternyata mewujudkan rencana-rencana sempurna itu. Aku berujung pada kekesalan karena menunda dan menunda lagi. Anak bosan, ibu tantrum, ayah bingung.

Di setiap niat, Tuhan buka jalan. Di tengah kemelut, Allah beri aku rezeki buku ini. Buku yang berisi kegiatan-kegiatan anak-anak bersama ibu dalam 24 jam 7 hari. Buku yang juga memberikan penjelasan bahwa anak-anak semenjak lahir membawa fitrah karunia Illahi berupa keimanan, belajar dan bernalar, bakat dan kepemimpinan, seksualitas dan cinta, estetika dan bahasa, individualitas dan sosialitas, juga jasmani. Tugasku dan suami adalah menanam, merawat, hingga fitrah itu tumbuh dengan baik. Bukan malah mematikannya sebelum tumbuh.

Lalu bagaimana caranya agar bisa membersamai anak? Sebenarnya di halaman 184-185 Mba Farda Semanggi sudah menjelaskan tipsnya tetapi kalau dibeberkan semua kalian jadi gak penasaran kan ya. Hihihi...

Sebagai gantinya, aku punya 5 cara sebelum memutuskan membersamai anak agar bisa total dan bahagia bersama ala Emak Sensi. Cara ini aku temukan setelah membaca buku Jurnal Ibu Pembelajar.

1. Berdamai

Pastilah sebelum bisa total, aku harus berdamai dulu dengan inner child, masa lalu, juga masa depan. Saat ini, kini, dan sekarang adalah yang perlu dilihat. Terus menerus berusaha sadar apa yang saat ini sedang dialami. 

Berdamai dengan menyadari bahwa apa yang dulu dialami saat aku masih jadi seorang anak tidak akan terjadi pada dua anakku saat ini. Berdamai dan terus berdamai bahwa apa yang aku miliki, alami, dan hadapi saat ini adalah yang pas untukku.

2. Manajemen waktu

Waktu harus tetap dikelola dengan baik. Setiap keluarga punya waktu emasnya masing-masing. Perlu pembicaraan agar waktu ayah, ibu, dan anak-anak bisa selaras sehingga mencapai kebahagiaan baik untuk diri sendiri maupun bersama-sama. Tidak boleh ada yang merasa berkorban atau dikorbankan. Semua baiknya seiring dan sejalan.

3. Gunakan komoditi yang ada

Aku berpikir apabila mau membahagiakan anak ya harus beli mainan atau sekolah yang mahal. Ternyata salah besar.

"Ibu, aku suka kalau ibu gak marah."
"Ayah, aku suka kalau ayah jawab aku. Bukan hanya bilang gak papa."

Lalu suatu pagi, aku menyiapkan pewarna makanan dan sabun ketika anak-anak bermain air sebelum akhirnya mandi. Taraaa... Mereka tertawa bahagia dan berterima kasih karena bisa bereksplorasi dengan mencampur warna juga mengaduk sabun seolah membuat milkshake. Yoyoy, pewarna makanan dan sabun tentu saja barang murah yang selalu ada di setiap rumah. Kalau pun beli tak perlu sampai jual ginjal kan? Apa saja yang ada di rumah bisa jadi pembelajaran, tidak harus melanglang buana ke negeri seberang. Pemikiran seperti ini harus terus ditanamkan bila tidak ingin stres atau depresi saat membersamai anak.

Anak-anak tanpa aku sadari begitu ingin memiliki kelekatan denganku. Mereka tahu bahwa ayah dan ibu adalah sumber cinta, perhatian, juga panutan. Aku sendiri yang terkadang kehilangan kesadaran terus berharap mereka tidak melulu menempel dan bergantung.

4. Membaca

Tidak mudah puas dengan ilmu yang dimiliki dan terus menerus menambah masukan-masukan sehingga dalam membersamai anak juga akan semakin kreatif dan kaya.

Libatkan semua yang ada di lingkaran. Benar-benar gunakan waktu dengan baik saat membaca lalu terapkan sesegera mungkin. Pada diri sendiri dulu sebagai uji coba terus pada anak-anak apabila sudah cocok dengan tahapan perkembangan fitrahnya.

Ketika lingkungan rumah memungkinkan untuk diatur seperti perpustakaan mini bagi seluruh anggota keluarga itu jauh lebih baik. Atur buku-buku yang layak dibaca anak di tempat yang terjangkau oleh mereka dan buku-buku untuk para orangtua terpisah dengan milik anak-anak.

5. Evaluasi

Setiap sebelum mulai dan juga setelah berkegiatan bersama. Evaluasi agar tidak mengulangi bahan-bahan yang sama atau teknik yang tidak berhasil saat bersama anak.


Catatan setelah membaca:
  • Buku Jurnal Ibu Pembelajar ini layak dibaca bagi yang merasa berhenti di tengah jalan seperti diriku. Kegiatan-kegiatan sederhana yang ada di dalamnya begitu mengundangku untuk ber-oh ria. Ya karena bisa dilakukan serta mudah karena sebenarnya semua ada di sekeliling saja. Hanya perlu sadar lalu mulai beraksi layaknya super hero yang sudah berdamai dengan diri sendiri dan siap membantu siapa saja yang butuh teman agar bisa jadi lebih baik lagi.
  • Meskipun judulnya Jurnal Ibu Pembelajar tetapi lebih bagus jika ayah juga ikut membaca agar satu frekuensi dengan ibu. 
  • Ingin membaca dan lebih tahu tentang fitrah anak dan pendidikan berbasis fitrah.

Aku ingat dulu bapak sering marah sambil bilang, “Disekolahin bukannya tambah pintar malah tambah goblog.” 

Aku juga sempat menggunakan kalimat itu kalau si sulung melakukan kesalahan kecil dan aku marah.

Setelah menelusuri buku ini dan melihat interaksiku kembali dengan anak-anak, aku jadi tahu kenapa Tuhan kasih aku pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Ternyata aku diberi kesempatan untuk menjadi ibu yang lebih baik dengan mulai berkomunikasi dua arah dengan anak-anakku. 

Sekarang aku paham, sekolah hanya salah satu tempat untuk belajar bukan tujuan utama seorang anak berada. Yang utama justru tidak padamnya semangat belajar dan bernalar anak itu sendiri. Jadi tugas utama orangtua bukan menyekolahkan anaknya melainkan mendidik dengan sepenuh hati dan menumbuhkan fitrah anak yang sudah tertanam sejak mereka lahir ke dunia. 

Aku diminta memberikan pemahaman pada anak-anak bahwa tujuan hidup yang sebenarnya adalah melalui serangkaian peristiwa yang pada ujungnya menguatkan cinta pada Yang Maha Pencipta lagi Maha Penyayang. 

Fitrah-fitrah yang ditanamkan adalah bukti nyata betapa Tuhan cinta kita dan ingin kembali ke sisi dan tempat yang seharusnya kita berada yaitu surga.

Ya Allah mewek 😭.

(1.107)

Terima Kasih Diriku untuk Terus Menulis

Beberapa waktu lalu aku sempat berpikir untuk mengedit tulisan-tulisan lama dan melihat sejauh mana perkembangan kemampuan menulis aku. Selain itu, aku ingin mengingat kembali kenapa aku menulis dan apakah sudah maksimal perjuangan aku untuk mengatasi rasa malas.

Aku mulai menulis blog 10 April 2014, total tulisan baru 234. Dalam empat tahun jika aku konsisten dengan seminggu tiga kali posting tulisan blog maka seharusnya ada 576 tulisan. 

"Konsistensi itu mahal."

Penyataan suami membuatku spontan menganggukkan kepala. Ya memang tidak mudah. Aku sudah mencoba dari yang berhadiah hingga yang suka-suka, ya segitu aja hasilnya. Aku merasa tidak juga maksimal seperti yang aku targetkan.

Begitu sulit karena ketika sangat bosan, malas, dan tidak ingin melakukan apa-apa; aku harus berdamai dan kembali menulis meski hanya satu kata.

antara senang, terharu, dan malu
Untuk itu, aku berusaha sebaik mungkin tahun ini. Aku mengikuti #ODOPfor99days, masuk ke WA Group, dan akhirnya bisa juara 1. Meskipun jumlah tulisan 22 postingan selama bulan Januari hingga April 2018, aku bangga. Aku juga berterima kasih kepada diriku sendiri.


#ODOPfor99days adalah sebuah komunitas di bawah naungan Ibu Profesional untuk para wanita yang ingin berkomitmen berlatih menulis secara rutin dan konsisten. Awalnya aku berpikir harus One Day One Post sesuai dengan namanya. Namun sesi kali ini berubah syarat. Minimal 1 minggu 1 tulisan dan konsisten selama Januari hingga April. Tentang Ibu Profesional itu akan aku ceritakan mungkin di postingan berikutnya kalau gak lupa 😁.

Tahun lalu aku gagal. Awalnya bisa satu minggu hingga 5 tulisan lalu semakin hari semakin berkurang dan tidak tertib administrasi atau setoran formulir mingguan. Pas bulan Januari 2018 juga pasang target tinggi tetapi pada minggu kedua aku menyadari kalau terlalu ngoyo akan sama lagi seperti tahun lalu yang berhenti di tengah jalan. Oleh sebab itu, aku memutuskan untuk seminggu sekali saja, kalau bisa lebih ya syukur tetapi kalau gak ya sudah cukup satu saja.

Menghadiahi diri dengan senyum entah kenapa suasana hati jadi lebih baik

Ya terkadang diri ini sibuk memberi semangat orang lain dan lupa untuk berterima kasih pada diri sendiri.

Cara setiap orang lolos dari masa-masa berat memang berbeda. Ada yang makan, main, dan aku dari dulu lebih suka menulis sama gambar aslinya. Terus karena gambar gak gitu berhasil ya sudah fokus ke menulis saja. Berusaha mengalirkan rasa dan berbagi.

Katanya wanita dalam sehari sebaiknya menggunakan 20.000 kata agar tetap waras. Bagi yang agak sulit cerewet maka menulis adalah jalan lain yang juga bisa dipilih.

Aku teringat zaman sekolah dulu. Kalau malas belajar dan ujian sudah di depan mata maka akan ledek-ledekan dengan Mamah.
"Catatannya dibakar aja terus airnya diminum biar langsung hafal."

Setelah menulis curhatan yang panjang, jika tidak mau diketahui banyak orang sebaiknya dibakar saja tetapi gak perlu dimasukkan ke air dan diminum. Airnya cukup buat padamkan api saja. Jangan sampai asyik bakar-bakaran lupa matiin jadi kebakaran.

Mengalirkan rasa. Aku sering lupa kalau menulis bisa membantu untuk mengetahui apa rasa yang sebenarnya aku alami dan bagaimana bereaksi dengan baik dan benar.

Semakin sering menulis, semakin banyak pula ide-ide atau pikiran keluar dan tidak penuh sesak di kepala yang membuat leher sakit dan pusing pala berbie.
"Terima kasih ya diriku sudah berusaha konsisten menulis. I love me myself."


Beberapa teman yang aku tahu suka menulis tetapi tergerus macam-macam alasan
Anakku yang pertama memang kesukaannya menulis dan membaca sudah kelihatan. Aku mau memelihara itu dan lagi lagi aku mau berterima kasih pada diriku yang terus menulis. Baik untuk tetap sadar dan waras juga memberikan contoh pada anak bahwa menulis itu sesuatu yang menyenangkan untuk dijadikan hobi maupun profesi.


Suka menulis berarti dilakukan dengan rela hati dan perasaan riang sehingga mampu memberikan semangat menjalani hidup yang lebih bermanfaat terutama bagi diri sendiri terlebih dahulu.


(607)