Orang bilang mendidik anak tidak ada sekolahnya tetapi
jangan sampai tidak ada ilmu sama sekali. Lantas menyerahkan semua hal yang
berkaitan dengan pendidikan ke sekolah atau kepada orang lain. Terus bagaimana
dengan para ibu yang dianugerahi kepercayaan untuk bekerja di ranah domestik
atau bahasa kerennya "stay home
mom"? Para ibu yang punya waktu lebih dari 24 jam sehari bersama
dengan anak-anak di rumah.
“Aku mah gak sanggup, bisa gila aku kalau gak kerja di luar.”
“Sehari-hari ya urusannya itu-itu aja. Urus makanan mereka,
mandiin, belum lagi kalau baru mulai toilet
training. Bosan banget kalau gak pintar-pintar atur waktu.”
Setiap orangtua memiliki gayanya masing-masing dalam
mendidik anak. Namun akan jadi gila atau bosan bila tidak ada ilmu yang bisa diaplikasikan untuk bertahan melalui
hari-hari berat nan drama. Ya akan ada yang protes dan bilang, “Ah istriku
lulusan pendidikan anak usia dini kok, masa iya gak bisa menangani anak-anak.”
Terkadang begitulah hidup, kenyataan tak semudah teori yang
sudah dipelajari. Banyak improvisasi yang tak terduga atau tak terpikirkan
justru bisa jadi jalan menyudahi drama gerakan tutup mulut.
Berawal dari kegalauan punya ilmu tetapi belum bisa
menerapkan secara maksimal inilah, aku mulai mencatat pengalaman-pengalaman
yang aku dapatkan selama mendampingi duoG. Pelajaran-pelajaran yang tersaji
setiap hari berusaha aku dokumentasikan baik dalam catatan, foto, ataupun
video. Supaya apa? Pada saat sedang terpuruk dan butuh motivasi, aku bisa
dengan mudah mengingat kembali semangat-semangat yang terselip dalam setiap
dokumentasi.
Pelajaran pertama:
orangtua harus yakin dengan Tuhan sebelum meminta anak untuk percaya.
“Ibu, Tuhan itu apa?”
Siap atau tidak siap, pertanyaan itu akan muncul suatu saat
nanti dari mulut anak-anak. Bagaimana aku bisa menjawab sedangkan aku sediri
pun masih mencari? Ya orangtua bisa saja punya banyak alibi untuk mengalihkan
pertanyaan itu atau berusaha menemukan bersama anak tetapi anak akan dengan
mudah menemukan celah kurang yakinnya orangtua. Jika orangtua belum bisa
memberikan kenyamanan akan Tuhannya kepada anak, anak akan mencari di luar
hingga anak merasa terpuaskan rasa penasarannya.
Nah, inilah yang menjadi motivasi aku pribadi untuk
menguatkan keyakinanku agar nantinya saat anak bertanya aku sudah siap.
Selain itu kenapa keyakinan
akan Tuhan ini aku letakkan pertama dan sedini mungkin akku mengenalkan
Tuhan pada anak-anak karena aku sendiri parno dengan dunia luar yang sudah
begitu ruwet. Tanpa bekal dari rumah, aku berpikir anak-anak akan tenggelam
dengan cepat di lautan kesenangan yang menyesatkan.
Catatanku saat
belajar tentang meyakinkan diri akan adanya Tuhan adalah konsistensi
memposisikan diri. Aku merasa memiliki tantangan tersendiri saat memposisikan
rasa di tengah-tengah: ekspektasi ada,
ikhlas juga ada.
Ya Tuhan ada, Dia adalah pencipta kita, kepada Dialah kita
kembali.
Setelah orangtua yakin akan Tuhannya maka anak-anak akan
melihat dan mencontoh perilaku dan juga tidakan-tindakan orangtua. Apakah sudah
sesuai dengan keyakinan atau malah melenceng jauh? Kembali lagi pada pilihan
orangtua akan mendidik anak yang seperti apa. Anak yang yakin akan Tuhan atau
yang seolah Tuhan hanya nama saja.
Setelah memberikan contoh, orangtua biasanya berekspektasi
tinggi anak akan segera paham dan mengaplikasikan. Nah disinilah tantangannya
bagaimana terus memiliki ekspektasi yang masuk akal dan ikhlas saat anak
ternyata punya jalannya sendiri untuk lebih paham.
Pelajaran kedua: berani menerima hal baru
Berada di zona nyaman sangatlah mengasyikkan. Tentu saja butuh
tekad yang kuat dari orangtua untuk keluar.
Ketika anak-anak bertambah usia, bertambah juga keinginan masing-masing
yang butuh pendampingan. GianGaraGembul
butuh ditemani piknik sementara DulDenGeni masih butuh ASI. Di sini muncul ide
untuk sekalian mulai menyapih DulDenGeni yang sudah 27 bulan.
Ini adalah hal baru bagiku. Mau tidak mau aku harus adil
sesuai porsi. Belajar lagi bagaimana adil tetapi sesuai dengan umur dan kebutuhan
masing-masing anak.
Menemani piknik GianGaraGembul dengan total artinya
menyerahkan kepercayaan pada suami untuk mengurus DulDenGeni. Ya
sebentar-sebentar tentu saja kepikiran bagaimana DulDenGeni melalui harinya
tetapi toh sudah dua tahun lebih, dia pasti bertahan. Padahal kalau mau tetap
bertahan di zona nyaman sih bisa saja. Pulang dari piknik tinggal mengASIhi
DulDenGeni lagi tetapi kan sayang usaha suami yang seharian berusaha memberikan
pengertian kalau waktu ASI sudah cukup bagi DulDenGeni.
Saat piknik, GianGaraGembul sangat menikmati waktu berduanya
bersama aku. Kita banyak ngobrol dan saling tanya jawab seputar hal baru apa
saja yang dia pelajari. Ternyata tidak hanya anak-anak yang belajar, aku
sebagai ibunya juga ikut kecipratan ilmunya. Hihihi…
Pelajaran ketiga: belajar itu menyenangkan
"Mendidik anak di rumah sama dengan mendidik diri. Jadi kuatkan diri dulu agar anak juga merasakan auranya." (phalupiahero)
Sebagai anak yang tumbuh dengan cara belajar yang serius,
caraku tentu saja tidak akan bisa diterapkan pada anak-anakku yang dunianya
masih bermain. Bermain sambil belajar. Oleh karena itu, aku mulai belajar lagi
bagaimana caranya agar anak-anak selain bermain juga bisa mendapatkan ilmu yang
nantinya berguna bagi mereka.
Pada saat pinik ke Sky World di TMII, GianGaraGembul belajar tentang planet-planet dengan cara
melihat dan mendengar narasi di planetarium. Dia menyamakan seperti masuk
bioskop tetapi filmnya tentang planet-planet.
Tidak perlu bentakan atau teriakan bahkan diharuskan untuk
menghafal. Bila anak senang secara otomatis dia akan meminta penjelasan dan
mengulang-ulang hingga dia paham.
![]() |
Setelah ini GianGaraGembul membuat lagu tentang planet-planet tetapi aku lupa merekam jadinya gak bisa diulangi deh |
Kuat di sini tentu saja menahan ego untuk menuntut anak
menjadi sempurna seperti apa yang aku inginkan sebagai orangtua. Betul kan?
Tantangan untuk menyesuaikan ekspektasi dan juga mengikhlaskan segala sesuatu
sesuai porsinya.
“Sudah cukup Nak. Memang seginilah porsimu.”
Pelajaran keempat: memberikan kepercayaan penuh pada anak
"Tegas bukan keras. Sayang bukan lemah. Tuntas tidak setengah-setengah." (phalupiahero)Menuntut anak sempurna seperti apa yang ada di kepala orangtua adalah kekonyolan. Tuntutan ini akan menjadi kekerasan, kadang berubah menjadi tidak konsisten, dan akhirnya setengah-setengah dalam mendidik anak-anak.
Anak-anak memiliki fitrah yang luar biasa. Tanpa disadari
fitrah anak-anak (rasa ingin tahu, imaginasi kreatif, seni untuk menemukan, dan
akhlak mulia) justru malah mati sebelum berkembang saat bersama dengan orangtua.
Rasa ingin tahu anak musnah oleh kalimat, “Sebentar ya, ayah
kerja dulu.”
Imaginasi kreatif anak menghilang karena sanggahan,”Ibu
sibuk. Kita bikin mobil-mobilannya nanti saja ya.”
“Ibu lihat, ada rumah semut.” Tanpa penjelasan si ibu
menarik anaknya dari sarang semut api. Padahal bisa saja ibu menjelaskan apa
itu rumah semut yang sudah ditemukan anaknya. Kenapa harus melihat dari jarak
aman?
“Ayah, kasihan ya itu anaknya. Dia gak punya rumah.”
“Ah mereka hanya orang malas yang gak mau bekerja dan
memilih untuk mengemis.”
Kepercayaan penuh pada anak layak diberikan karena Tuhan
Yang Maha Pengasih lagi Penyayang memberikan anak fitrah yang luar biasa. Oleh
karena itu orangtua harus berjuang untuk mendidik agar fitrah anak tidak
hilang. Dari kepercayaan inilah rasa percaya diri anak terbentuk.
Tidak masalah dia mendapatkan kejutan-kejutan kesulitan, dari sanalah anak
belajar untuk yakin pada diri sendiri dan menemukan solusi.
![]() |
Jangan sampai anak tidak mau mencoba karena yang dia lihat hanya kesulitan karena tidak percaya diri untuk mencoba. |
Pelajaran kelima: berterima kasih pada anak untuk setiap
kemajuan kecil yang anak tunjukkan
Tiga kalimat sakti yang susah diucapkan orangtuaku adalah
tolong, maaf, terima kasih. Alhamdulillah aku sempat bekerja sebagai guru anak
usia dini yang membiasakan anak-anak dengan tiga kalimat sakti itu. Awalnya
memang tidak mudah tetapi ketika anak-anak mulai terbiasa, rutinitas menjadi lebih
menyenangkan.
“Terima kasih ya nak, sudah mau mendengarkan ibu.”
“Terima kasih sudah mau bantu ibu membereskan barang-barangmu sendiri.”
Berpose sebelum berangkat piknik setelah memberekan
barang-barang dan menata di dalam bagasi.
![]() |
Sangat menyenangkan melalui hari dengan kata terima kasih untuk hal-hal kecil yang membahagiakan |
Butuh satu kampung untuk mendidik seorang anak. Bahu membahu
bersama pasangan dan juga sesama orangtua dalam satu komunitas. Terus menerus
konsisten belajar agar anak juga melihat orangtua sebagai teladan dalam
mendapatkan ilmu dan mempraktikkannya.