Aku mulai belajar menulis dengan mengikuti kelas-kelas online dan berganti-ganti guru sejak 2013. Kabur tanpa menyerahkan tugas akhir atau hanya membaca teori-teori panjang, minus praktik.
Semua
itu pada akhirnya tidak begitu signifikan mengubah kualitas dan kuantitas
tulisanku. Tiga buku antologi, postingan blog yang timbul tenggelam, dan deretan curhat di status facebook.
Melelahkan
ternyata!
Aku kembali
pada masa-masa banyak ide di kepala, lupa, berakhir tanpa jejak. Capek karena
pada akhirnya berusaha mengingat tema-tema cemerlang yang sudah berlalu.
Begitulah
perjalanan menulis milikku, tak ada daftar nyata.
Penat!
Aku seperti bermain sepakbola tanpa ada gawang sehingga hanya berputar-putar di
lapangan luas.
Kenapa
semua hal itu harus memiliki tujuan? Ini begitu sulit bagiku yang tak pernah
memiliki tujuan yang jelas, mimpi yang pasti, atau impian yang diwujudkan.
Ah
alasan! Bilang saja malas untuk sekedar duduk, menulis, lalu larut dalam
apa-apa yang ada di kepala. Lebih suka membiarkan semua kegelisahan, amarah, bahkan
solusi menjadi mubazir.
Menulis
itu sulit. Tentu kembali ke rasa enggan yang selalu aku manjakan. Jika saja aku
mau sedikit saja bersikap tegas kepada keinginan untuk tidak mengerjakan itu
maka pada akhirnya aku akan terus mencoba dan berakhir bahagia. Cerita-cerita
itu akan mengalir begitu saja, membuat beban-beban berat di pundakku terangkat,
dan yang paling nyata adalah bagaimana hariku begitu berwarna tanpa merasa
sia-sia.
Meskipun
tidak seperti membalikkan telapak tangan, aku selalu berusaha untuk kembali
merangkai kata. Mungkin karena aktivitas inilah yang selalu menyelamatkan aku
dari kegilaan pikiran-pikiranku sendiri. Begitu dituliskan semua menghilang
dengan tenang.
Semesta
mendukung. Aku bertemu dengan guru-guru yang lagi-lagi mengingatkan aku tentang
bermain dengan kata-kata dan menikmatinya.
Windy
Ariestanty adalah guru menulisku di Linkers Academy Batch 3. Si kakak satu ini
adalah orang kedua yang aku tempatkan di jajaran ‘harus ketemu lebih dari satu
kali’ setelah mba Sasha (Marrysa Tunjung Sari). Itulah kenapa jika aku bertemu
dengannya, selalu ada pelajaran baru yang bisa aku ambil.
Kak
W adalah orang pertama yang aku dengarkan ceritanya dari awal sampai akhir.
Entah kenapa aku yang termasuk dalam kategori bukan pendengar yang baik ini
langsung mengangguk mengerti jalan cerita ‘Kembalinya Tas Koko’. Hari itu
adalah pertemuan kedua kita.
Begitu
santai di rumah, langsung ketik nama Kak W di kolom cari Youtube. Aku melihat
dan mendengarkan beberapa video yang akhirnya membuatku menyerah.
Aku
kembali menghadap laptop, memijat deretan alphabet, dan mengambil sikap tegas
pada malasku.
Kata
demi kata. Aku baca ulang, meneliti sebab akibat apakah sudah pas, dan
menghapus kalimat yang ternyata tidak runut.
Aha
ternyata menyenangkan. Aku menemukan kembali letupan-letupan bahagia layaknya
selesai menuangkan rasa di buku catatan harianku. Seperti saat kelas lima SD. Inilah ternyata
alasan kenapa aku menulis. Aku ingin merasakan kebahagiaan saat bisa menuangkan
isi kepala yang seperti tumpukan mainan duo G. Ya cukup banyak sehingga butuh
waktu untuk merapikan. Menuliskan semua, memilih dan memilah, baru eksekusi
yang paling mendesak.
“Saya kepengen apa yang ada di kepala saya itu bisa dipahami oleh orang lain. Cerita-cerita khayalan-khayalan di kepala saya tuh bisa dipahami dan dimengerti oleh orang lain dan ada orang yang bisa saya ajak ngobrolin hal itu.” Windy Ariestanty
Apa yang sebenarnya aku inginkan setelah menulis? Ternyata uang dan pengakuan orang lain. Iya sulit memang untuk jujur. Tidak mudah bagiku menampakkan diriku sendiri. Aku ingin terlihat sempurna di hadapan orang lain.
Namun setelah lima tahun berjalan, aku tidak pernah bisa memaksa diriku bergerak atau mulai menulis karena uang atau pengakuan orang lain. Awalnya semangat tetapi lama kelamaan mulai menunda lagi. Berakhir menjadi onggokan draft. Tulisan itu seolah beban yang semakin hari semakin berat. Harus sempurna, tidak boleh dikerjakan seenaknya, dan pastinya sesuai dengan waktu yang disepakati. Menulis bukan lagi ajang bersenang-senang tetapi tuntutan. Paksaan pada diriku sendiri.
Urusan
menulis ini adalah perjalananku dengan diriku sendiri. Menyerahkan sepenuhnya
pada diri sendiri. Aku ingin menulis karena aku suka. Berlatih membuat waktu praktik bermain dengan kata-kata lagi.
Hari
ini. Hadir utuh dan penuh, menerima, lalu menyerahkan diri ini kepadaku. Mari
memperbaiki komunikasi dan bertumbuh lagi. Mari saling mengontrol ya diriku. Mencoba untuk mulai berpikir dengan benar.
Terima
kasih ya Maha Pemberi Petunjuk selalu mengembalikanku ke jalan ini. Tak
berhenti aku bersyukur untuk setiap pertemuan yang mengembalikanku ke jalan
yang benar. Jalan menulis yang sedari awal aku inginkan agar bisa
bersenang-senang.
Makasih
Kak W. Dari kakak aku belajar bahwa menulis itu latihan, bukan bakat dan bukan
pula bacot. Aku menulis dengan aku ingin menulis adalah hal berbeda. Menulis
bukan yang penting niat tetapi yang penting melakukan. Kecup Kak W ^_^
Kak W gurunya mba Apik, mba Apik gurunya aku 😁😁😁
BalasHapusKembali menyulut semangat itu memang butuh perjalanan yang cukup melelahkan.,
BalasHapusSemangat bangkit kembali Apik 🌺
Tidak bisa berkomentar banyak. Akupun merasakan ide yang hilang terbawa arus. Ketika ingin diraih kembali sudah tak bisa diraih lagi.
BalasHapusHanya bisa bilang, tetap semangat Apik!