Sekolah di Rumah, Bisa Tidak?
Senin, 16 Juli 2018
Wacana sekolah di rumah ini sudah ada sejak GianGaraGembul bayi. Pengalamanku sebagai guru anak usia dini digadang-gadang akan membuat sekolah di rumah masuk akal dan mudah. Namun ternyata eh ternyata, hingga anak Gian umur 5 tahun, sekolah di rumah masih ada di pikiran.
👦"Aku gak mau sekolah di situ lagi ibu. Aku mau sekolah di rumah saja."
👩"Kenapa mamas?"
👦"Aku bosan ibu. Lagian gurunya marah-marah melulu."
👩"Kan ibu juga galak."
👦"Tapi ibu kan ibu aku."
Itu artinya dia tahu kalau gak papa ibunya galak asal jangan orang lain.
Aku sempat berpikir apa ikatan yang aku bangun terlalu dekat hingga anak-anakku belum bisa cepat akrab dengan orang dewasa lain. Iya karena kalau bermain dengan anak-anak lain maka cepat banget. Ibarat ditinggal antri beli ayam goreng juga udah dapat teman saja. Aku jadi agak sulit untuk memasukkan dia ke sekolah atau les yang notabene ada orang dewasa lain.
Mau tidak mau rencana untuk menyekolahkan anak di rumah harus ditinjau lagi. Perencanaan pendidikan anak akan jauh lebih fleksibel karena aku tahu karakter anakku. Aku juga tahu sampai mana perkembangan mereka yang artinya kegiatan-kegiatan yang akan anak-anak ikuti bisa lebih mengena dan memberikan ilmu yang sesuai dengan visi misi keluarga.
Mulai baca-baca lagi buku-buku tentang perkembangan anak dan juga artikel atau jurnal yang bisa menambah keyakinan bahwa aku sebagai ibu sangat layak menjadi guru anak-anakku.
"Aku tuh hanya lulusan SMA, mana bisa mendidik anak. Lagian dulu orangtuaku hanya sekolahin aku biar dapat pekerjaan."
"Berat mba. Aku aja yang lulusan S2 memilih untuk kerja saja. Anak-anak aku sekolahin lah di sekolah internasional yang mahal. Aku tuh orangnya gak sabaran. Takutnya malah stres."
Oh Tuhan, apakah aku salah memilih untuk ada di rumah? Butuh tujuh tahun untuk akhirnya memilih dengan sadar, IYA AKU IBU RUMAH TANGGA. Tugasku adalah membahagiakan diriku sendiri. Ya sebelum mendidik anak di rumah, aku terlebih dahulu harus bahagia dan merasa cukup. Setelah itu yang terjadi terjadilah. Pundakku harus enteng dan bebas dari segala macam ekspektasi tinggi.
Begitu diri ini sadar maka pelan-pelan niat untuk mengatur semua kegiatan anak-anak ditumbuhkan. Tidak ingin tergesa-gesa karena takutnya malah berujung penundaan seperti yang sudah-sudah. Rencana sebatas rencana.
***
"Nu, aku mau beli beberapa mainan kayu. Kalau khilaf, aku bayar dua kali ya?" tanyaku pada seorang teman yang jualan mainan kayu.
"Siappp."
Aku pikir koleksi balok dan juga puzzle sebaiknya bertambah. Dan ya alhamdulillah anaknya senang, ibunya juga bahagia. Ketika GianGaraGembul sibuk dengan balok-baloknya, aku sibuk memotret dan menanyakan hal-hal yang bisa merangsang perkembangan kosakata dan juga kerja otaknya.
"Aku harus buat tangga ya ibu, biar bisa naik ke atas dan rumahnya tinggi."
Ya tidak perlu muluk-muluk ibu, aku akan berkembang asal ibu mau menemani. Itu cukup. Mungkin inilah masa dimana anak-anak butuh aku sebagai ibunya untuk terus mendampingi mereka hingga saat untuk keluar rumah tiba. Tidak ada mainan tidak masalah, anak-anak butuh orangtuanya.
![]() |
Bila anak masih nyaman di rumah kenapa tidak sekalian sekolah di rumah saja? |
Batasan-batasan kelas harus di dalam ruangan juga perlu diubah. Toh belajar tidak melulu harus serius, duduk tegak, atau di kelilingi tembok. Di lapangan penuh rumput juga bisa.
![]() |
Kesadaran untuk menjaga alam nantinya akan menjadi pelengkap skill anak |
Sekolah di rumah atau tidak, sebenarnya kebutuhan anak-anak adalah bisa memiliki waktu berkualitas bersama dengan orangtua. Asli aku mengetik ini sambil nangis karena inilah keinginan yang dulu tidak bisa aku sampaikan kepada orangtuaku. Bukan uang atau mainan tetapi perhatian dan kesediaan untuk mendengarkan juga berbagi rasa.
Ya mungkin inilah yang membuat sekolah di rumah itu berat. Aku harus mulai mengulik satu per satu keinginanku semasa kecil. Selain itu kembali ke masa kecil yang berat dan suram.
Bagaimana aku bisa mendidik anakku di rumah sementara aku tidak memiliki pengalaman keluarga yang memiliki visi dan misi? Baiklah aku akan mulai dengan memaafkan orangtuaku untuk sumber-sumber ilmu yang terbatas juga berterima kasih kepada mereka karena walaupun mereka tidak memiliki ilmu yang cukup saat itu tetapi mereka memberikan pendidikan di luar rumah terbaik semampu mereka.
GianGaraGembul dan nantinya DulDenGeni, dengan semua kelebihan dan keterbatasan ibumu juga ayahmu, semoga kami bisa menjadikan kalian anak yang baik juga bermanfaat di dunia juga akhirat nanti. Aamiin.
(735)
KEMBALI PULANG KE DIRI SENDIRI
Senin, 09 Juli 2018
Mulai merasa tidak nyaman dengan orang-orang di sekeliling. Semua nampak tidak bersahabat dan banyak komentar tentang hal-hal yang tampak sepele tetapi menyakitkan.
Aku mengikuti mas Adjie dari tahun 2015.
Boleh baca juga BELAJAR HENING TIDAK HARUS SEPI!
Sejak itulah mulai sadar untuk memperhatikan kesehatan jiwa. Kembali, membawa segala rasa yang ada untuk melangkah pulang ke yang paling mengerti dan memahami yaitu diri sendiri.
![]() |
Ini yang sering terjadi, membiarkan orang lain memporak-porandakan hati |
MENGENAL DIRI SENDIRI
"Ih kok jadi baper ya dibilang lebay sama tetangga. Ya biarin sih lebay, kalau anak gue ilang emang situ mau direpotin."
See, as easy as buying ice cream at Alpamart. Tidak perlu usaha keras, aku langsung terpengaruh dengan sindiran, komentar, atau pujian orang lain.
Keengganan diri untuk mengenal lebih jauh membuat orang lain dengan gampang mengubah perasaan aku dari biasa saja menjadi kecewa.
Mendadak sedih dan terpuruk ketika orang-orang mengkritik apa yang aku lakukan. Padahal yang aku inginkan adalah penerimaan. Inilah caraku. Aku ingin sekali terlihat sempurna lantas menuntut orang lain agar melihat kesempurnaan tersebut bukan melulu fokus pada kekurangan.
Orang lain ya orang lain. Tidak bisa aku menuntut untuk mereka sesuai dengan apa yang aku mau begitu juga sebaliknya mereka. Mereka seharusnya tidak bisa bersikap seolah aku harus sesuai dengan sangkaan mereka.
Padahal jika kita mau berusaha sedikit saja mengetahui siapa diri aku maka hidup akan jauh lebih nikmati.
Dalam konteks ini, aku sebaiknya mulai membangun lagi kesadaran untuk tidak mengemis perhatian dari orang lain tetapi kembali ke diri sendiri.
![]() |
aku adalah anak yang haus akan apresiasi orang lain |
Setelah niat untuk pulang, ada pintu gelap dan menakutkan yang terbuka. Jalan menuju masa lalu yang belum termaafkan. Jangankan melepaskan, jari-jari pun masih dengan erat menggenggam. Menahan sakit.
Semua orang tidak ada yang mau memahami tetapi aku terus mendesak agar mereka mau menghargaiku. Berapa? Ah ternyata mereka sama saja dengan orangtuaku. Hanya menganggap uang adalah sumber bahagia. Padahal aku hanya ingin pelukan, telinga untuk mendengar bukan hanya tentang prestasi tetapi juga frustasi, dan menerima aku apa adanya.
![]() |
setelah berdamai dengan masa lalu maka masa kini dan saat ini adalah nyata |
Terima kasih akhirnya Tuhan memberikan kesempatan untukku perlahan-lahan memaafkan diriku sendiri. Belajar menerima segala yang ada di masa lalu. Tidak perlu dibawa-bawa ke masa kini. Saat ini.
Ketika aku mulai paham, pada akhirnya manusia mempertanggungjawabkan semuanya sendiri. Kemudian kenapa harus memaki dan menghakimi ketika satu per satu teman pergi.
Mulai lagi dari awal. Apa yang salah dari itu? Mungkin karena awal selalu terasa berat dan melelahkan maka dari itu aku marah jika harus kembali mengayunkan kaki seperti pertama kali.
BERTAHAN DALAM MASA SULIT
Mas Adjie bersama Uda Irfan memperkuat niatku belajar melihat kenyataan. Bukan melulu hanyut dalam ketakutan dan juga tuntutan-tuntutan.
Aku sadar bahwa aku sering terjebak dalam ruang dan waktu yang terus mengingatkan akan rasa sakit akan pengharapan yang tidak terwujud atau sesuai dengan keinginan. Depresi yang berkelanjutan.
Bagaimana aku bisa mendidik anak-anak tanpa kekerasan sementara begitulah caraku dulu dididik. Sementara suamiku pulang, main sama anak sebentar habis itu ribut nyuruh anak-anak tidur. Apa karena aku sudah dapat izin untuk memiliki aktivitas di luar rumah lantas harus menggantinya dengan mengurus anak 24 jam penuh? Ya aku jadi dengan mudah terbawa perasaan. Cepat lelah dan tidak memiliki keinginan bergerak. Namun bila malam tiba otak begitu aktif, pikiran riuh. Namun badan sudah ingin istirahat. Akhirnya begadang nonton film di hp sampai dini hari. Bangun siang. Besoknya jadi malas bergerak, main hp sambil tiduran, malas makan, anak-anak tidak terurus secara maksimal, rumah terbengkalai.
"Oh itu normal kok."
Kalimat yang nyes di hati.
Terima kasih Ruang Napas yang mau menerima aku pulang tanpa penghakiman.
![]() |
Senang punya rumah yang bisa pulang kapan saja tanpa ditanya kenapa |
Begitulah hidup, agar bisa lolos dari ujian satu ke ujian yang lain. Hingga akhirnya sadar akan Kuasa-Nya.
"Kembalilah ke diri sendiri karena bahagia ada di sana." -phalupiahero
Mau sempurna apapun manusia itu pasti akan terlihat kurangnya. Namun apakah aku akan membiarkan kekurangan itu menghilangkan hak aku untuk bahagia? Tentu saja tidak. Aku pastinya ingin terus memelihara kebahagiaan diriku dengan tidak mencarinya keluar melainkan merawat yang sudah ada di dalam. Baik di rumah maupun hatiku.
Good Night, Phalupi Apik Herowati
(690)
Bertahan dalam Keheningan
Senin, 25 Juni 2018
Sudah lama aku rindu. Rindu untuk ngobrol dengan diriku sendiri. Ekspektasiku terlalu tinggi. Aku ingin menyenangkan semua orang yang aku kenal. Bahkan yang tidak terlalu dekat. Lantas aku kelelahan.
Semua orang bersuara menginginkan perhatian yang penuh dan utuh. Tidak ada lagi sisa ruang dan waktu bahkan untuk memejamkan mata.
Aku mulai bermimpi buruk. Terus dan terus. Hingga akhirnya enggan untuk tidur.
Oh diriku, aku tahu aku lelah. Aku tahu aku ingin jeda. Namun apa kata orang nantinya? Mereka akan menjauhiku. Mereka akan dengan mudahnya meninggalkan aku. Aku dalam sekejap menjadi aku yang tak berguna.
Apakah aku tidak berhak memiliki keheningan? Hanya sekejap.
"Perjalanan yang berat adalah kembali ke diriku."
Berat karena ternyata aku terbiasa dengan hingar bingar hinaan, komentar sinis, bahkan sindiran-sindiran kasar.
Diriku begitu remuk redam. Waktuku berhenti pada saat aku dilecehkan. Bagai seonggok daging busuk yang hanya pantas dibuang ke tempat sampah.
Semakin keras aku berusaha mengubah diriku, semakin aku terperosok jauh ke dalam jurang kenistaan.
Aku yang berjuang keras agar aroma menyengatku tidak menguar.
Aku melihat diriku begitu palsu. Begitu ingin dipuja hingga mau melakukan apa saja. Diriku yang tak sadar jika aku sebenarnya gila.
"Bukan waktu yang menyembuhkan tetapi keheningan."
Suatu malam yang dingin, setelah terjaga hampir tiga malam, aku melihat pantulan mata panda di dalam kaca. Dia menyuguhkan senyum sinis yang tidak biasa. Dia tidak terima, "Harusnya kau ambil saja pisau dan tusukkan di nadimu. Aku bosan menjadi bulan-bulananmu."
Mata itu mulai mengalirkan air mata. Lama-lama semakin deras saja. Aku berusaha meraih dan memeluknya. Hanya diam. Aku bertemu dengan jiwaku. Hening. Tak ada percakapan. Malam ini adalah malam paling menenangkan selama hampir tiga puluh tahun aku berjuang.
"Maafkan aku diriku."
Riasan itu bukan untuk menggoda tetapi agar aku sadar kalau aku juga berhak merawat diriku.
Senyum-senyum riang mulai mengembang.
Apakah aku sudah berhasil memaafkan diriku untuk penganiayaan yang selama ini aku lakukan?
"Hidup selalu menawarkan pilihan, aku adalah hasil dari pilihanku."
Aku sendiri yang memilih untuk terus berkubang dalam penyesalanku. Aku sendiri pulalah yang akhirnya sadar dan memilih untuk mulai berubah. Belajar dari pengalaman-pengalaman pahit, bersyukur tanpa syarat, dan menghamba dengan ikhlas.
"Pilihan itu bebas, konsekuensi tidak."
Sekali aku memilih maka suka tidak suka aku akan menjalani konsekuensi. Bertahan dalam keheningan yang menakutkan di awal, sungguh berat. Tidak ada jaminan pasti aku akan menyadari keutuhan diriku. Namun kebebasan memilih itu aku iringi dengan doa. Doa agar apa yang aku pilih menjadi jalan yang terbaik bagi diriku.
"Tidak apa-apa jika terluka, menangis, bahkan mengurung diri."
Setiap emosi yang datang bak tamu yang aku izinkan masuk. Akan pergi jika aku biarkan. Akan bertahan jika terus aku tolak.
Ketika aku menerima tamu-tamu itu dengan baik. Menikmati setiap pengalaman yang mereka berikan. Terus bertahan untuk tidak kehilangan diriku sendiri maka aku akan melihat diriku sendiri sebagai pribadi tanggung yang terus bertahan baik dalam keadaan baik maupun buruk.
"Baper itu hanya kata, bukan akhir dunia."
Meremehkan diri sama dengan minum racun. Pelan tapi pasti aku akan mati. Lalu? Ya kembali lah pada keneningan. Menepi. Mengolah segala rasa agar bisa memilih dengan kesadaran yang utuh dan penuh.
(505)
"Perjalanan yang berat adalah kembali ke diriku."
Berat karena ternyata aku terbiasa dengan hingar bingar hinaan, komentar sinis, bahkan sindiran-sindiran kasar.
Diriku begitu remuk redam. Waktuku berhenti pada saat aku dilecehkan. Bagai seonggok daging busuk yang hanya pantas dibuang ke tempat sampah.
Semakin keras aku berusaha mengubah diriku, semakin aku terperosok jauh ke dalam jurang kenistaan.
Aku yang berjuang keras agar aroma menyengatku tidak menguar.
Aku melihat diriku begitu palsu. Begitu ingin dipuja hingga mau melakukan apa saja. Diriku yang tak sadar jika aku sebenarnya gila.
"Bukan waktu yang menyembuhkan tetapi keheningan."
Suatu malam yang dingin, setelah terjaga hampir tiga malam, aku melihat pantulan mata panda di dalam kaca. Dia menyuguhkan senyum sinis yang tidak biasa. Dia tidak terima, "Harusnya kau ambil saja pisau dan tusukkan di nadimu. Aku bosan menjadi bulan-bulananmu."
Mata itu mulai mengalirkan air mata. Lama-lama semakin deras saja. Aku berusaha meraih dan memeluknya. Hanya diam. Aku bertemu dengan jiwaku. Hening. Tak ada percakapan. Malam ini adalah malam paling menenangkan selama hampir tiga puluh tahun aku berjuang.
"Maafkan aku diriku."
Riasan itu bukan untuk menggoda tetapi agar aku sadar kalau aku juga berhak merawat diriku.
Senyum-senyum riang mulai mengembang.
Apakah aku sudah berhasil memaafkan diriku untuk penganiayaan yang selama ini aku lakukan?
"Hidup selalu menawarkan pilihan, aku adalah hasil dari pilihanku."
Aku sendiri yang memilih untuk terus berkubang dalam penyesalanku. Aku sendiri pulalah yang akhirnya sadar dan memilih untuk mulai berubah. Belajar dari pengalaman-pengalaman pahit, bersyukur tanpa syarat, dan menghamba dengan ikhlas.
"Pilihan itu bebas, konsekuensi tidak."
Sekali aku memilih maka suka tidak suka aku akan menjalani konsekuensi. Bertahan dalam keheningan yang menakutkan di awal, sungguh berat. Tidak ada jaminan pasti aku akan menyadari keutuhan diriku. Namun kebebasan memilih itu aku iringi dengan doa. Doa agar apa yang aku pilih menjadi jalan yang terbaik bagi diriku.
"Tidak apa-apa jika terluka, menangis, bahkan mengurung diri."
Setiap emosi yang datang bak tamu yang aku izinkan masuk. Akan pergi jika aku biarkan. Akan bertahan jika terus aku tolak.
Ketika aku menerima tamu-tamu itu dengan baik. Menikmati setiap pengalaman yang mereka berikan. Terus bertahan untuk tidak kehilangan diriku sendiri maka aku akan melihat diriku sendiri sebagai pribadi tanggung yang terus bertahan baik dalam keadaan baik maupun buruk.
"Baper itu hanya kata, bukan akhir dunia."
Meremehkan diri sama dengan minum racun. Pelan tapi pasti aku akan mati. Lalu? Ya kembali lah pada keneningan. Menepi. Mengolah segala rasa agar bisa memilih dengan kesadaran yang utuh dan penuh.
(505)
Drama Pernikahan via Status Whatsapp
Senin, 11 Juni 2018
Sesederhana suami merespon status yang dibuat istrinya atau sebaliknya.
Ternyata setelah dirunut, seorang teman mengakui bahwa perhatian-perhatian kecil yang berujung pada senyum tersipu adalah bentuk komunikasi yang sering diremehkan para pasangan.
"Halah sekedar komen atau like saja kok bikin baper."
"Lho justru dari perhatian remeh itulah komunikasi terbentuk sehingga saling memahami perasaan satu sama lain mulai terjalin."
Coba deh dipikir, karena sudah menikah lantas pasangan sama-sama bersikap 'kamu pasti paham apa mauku", pastilah percikan-percikan kesalahpahaman mulai menggigit. Apabila dibiarkan berkelanjutan maka drama-drama akan tercipta dan terpampang nyata.
Istri sering defensif dengan pujian-pujian suami padahal suami sangat suka ketulusannya diakui.
"Ih pasti ada maunya deh."
"Lah ya gak masalah kalau maunya sama istri sendiri."
***
Drama-drama pernikahan sejatinya membuat masing-masing individu kembali pada pelajaran 'mengenal diri sendiri'. Kenapa begitu? Apa yang kamu suka bisa jadi apa yang tidak disukai oleh pasangan. Nah bagaimana menemukan jalan tengah hingga akhirnya sama-sama menerima adalah kembali pada keikhlasan diri.
Kita bisa bilang kebahagiaan pernikahan adalah menerima diri lantas pasangan secara utuh dan penuh. Berdamai dengan mendengkur, tidak bisa bangun pagi, dan juga keahlian pasangan mengungkapkan perasaan.
Tentu saja akan ada masa berat, super berat bahkan tragedi. Namun ketika Tuhan buka jalan kita menuju pernikahan maka Tuhan buka juga jalan-jalan alternatif untuk kita menyelesaikan setiap drama-drama yang muncul.
Tidak melulu awal pernikahan adalah bulan madu. Ada banyak pasangan di luar sana yang mungkin menghadapi gelapnya gerhana bulan dalam pernikahannya. Langsung kerja keras melunasi hutang biaya pernikahan yang super mewah, tudingan yang masuk akal tentang married by accident, atau pertengkaran-pertengkaran diwarnai kekerasan akibat menikah karena terdesak umur.
Maka dari itulah kesadaran masing-masing pasangan sesaat setelah menikah sangat dibutuhkan. Bahwa perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan pernikahan itu untuk dihadapi dengan kelegaan hati bukan sakit hati apalagi bikin sakit jiwa.
Apresiasi istri kepada suami dan sebaliknya, komunikasi yang dijaga, lantas ujian cinta yang mendewasakan semua.
Kejutan-kejutan dalam mengurangi rumah tangga belum tentu langsung dihadapi dengan pikiran terbuka, ada proses naik turun yang sejatinya mengubah suami istri baik menjadi dewasa atau membabi-buta.
Istri yang belum bisa mengungkapkan isi hati langsung, bertemu dengan suami yang selalu ingin berkomunikasi agar sama-sama menemukan jalan tengah. Saling. Tidak ada yang menang atau kalah.
Temukan alasan yang tepat untuk menikah lalu memperbaharui terus dan terus.
Cerita-cerita dalam kehidupan pernikahan tidak selalu indah. Banyak hal yang diceritakan pasangan mungkin saja rekayasa agar mereka tampak baik-baik saja juga sempurna.
Pasangan yang menikah karena cinta perlu sadar bahwa setelah pesta meriah nan romantis itu perlu usaha yang tak kenal lelah untuk terus menjaga api cinta tetap menyala.
Tidak perlu rendah diri, hanya perlu memantas-mantas diri.
Hanya karena kita sudah menikah terus kita menyerahkan kebahagiaan kita seolah itu tanggung jawab pasangan kita, SALAH BESAR! Kita tetap bertanggung jawab atas kebahagiaan kita sendiri.
Kalau ditanya nikah itu berat apa tidak? Kebanyakan pasangan akan jawab iya tetapi beratnya sebanding dengan kebahagiaan menemukan belahan jiwa yang memiliki visi, misi dan juga mimpi untuk diwujudkan bersama-sama. Impian-impian yang berubah menjadi life plan. Semua itu tentu saja dibicarakan sejak awal kalau pun tidak, biasanya setelah ada anak maka semua kehidupan pernikahan kembali ke titik awal. Nah, di waktu itulah pasangan bisa membicarakan visi, misi, dan mimpi bersama dengan anak.
Jadi ketika drama-drama menghampiri hadapi dengan nyaman hati. Selamat menempuh hidup yang sesungguhnya!
(537)
5 Kelakuan untuk Bertahan di Lingkungan Tidak Waras
Senin, 04 Juni 2018
Sebagai kontaktor atau keluarga yang sering berpindah kontrakan, kami mulai mengerti bagaimana membedakan berperilaku di lingkungan sekitar. Lingkungan tidak waras membuat para penghuninya menghabiskan waktu untuk hal-hal yang sia-sia seperti bergunjing atau mengajak berantem.
Ibu sering baper tetapi mulai belajar berdamai saat anak-anaknya rebutan mainan dengan teman-temannya terus pulang sambil menangis. Anak-anak terkontaminasi dengan kata-kata kasar yang digunakan teman-temannya. Belum lagi kalau ada yang membanding-bandingkan harta satu sama lain.
Butuh waktu hampir lima tahun jatuh bangun. Akhirnya kami bahu membahu agar bisa memahami dan teguh dengan prinsip yang dipegang.
Ayah terus menerus memotivasi ibu dan anak-anak agar tidak hanyut di dalam lingkungan yang tidak waras. Sebagai kepala rumah tangga sekaligus yang paling logis diantara kami, tidak cepat terbawa emosi, dan juga yang paling bisa menghindari konflik.
Sementara ibu harus berjuang lebih keras jika berkaitan dengan emosi. Ingatkah ibu saat pertama datang ke Jakarta? Baru punya bayi dan begitu idealis dengan segala kesempurnaan yang dimiliki. Lalu lingkungan kontrakan dengan berbagai macam latar belakang membuat ibu muda ini kambuh gilanya. Konflik-konflik dari mulai sepele hingga besar tidak selalu tuntas selasai karena hanya berani ngomong bisik-bisik.
Harus memahami orang lain tanpa hak untuk dimengerti. Peraturan yang tidak tertulis tetapi diterapkan bagi orang baru. Mulai dipengaruhi untuk membenci bahkan sebelum mengenal lebih jauh siapa orang tersebut.
Terus, terus bagaimana trik agar bisa bertahan ketika diberi rezeki tinggal di lingkungan yang tidak waras?
Kelakuan pertama: hindari jika bisa
Secara alamiah orang-orang curhat untuk mendapatkan pembenaran bukan benar-benar solusi dari permasalahan yang sedang dihadapi. Wanita apalagi. Tidak suka ada wanita yang lain terlihat lebih cantik, kaya, atau mencolok dibanding dirinya *ini mah emak sensi kalau kalian sih yahud.
Pada saat sore hari dan sedang menyuapi anak di luar rumah atau mengawasi anak bermain terus ada yang nyamperin buat menggunjingkan penghuni lain sebaiknya tidak menanggapi.
Pemecah kebekuan yang paling mujarab memang mengumbar aib baik itu aib sendiri atau orang lain. Berusahalah untuk tidak terpancing karena jika sudah kena bisa susah lepasnya. Memang baik jika sebelum benar-benar terjun ke masyarakat, cari informasi yang objektif tentang tetangga kanan kiri. Biar tidak salah ambil sikap.
Menghindari di sini lebih ke pembicaraan atau kegiatan yang kurang bermanfaat. Ngerumpi, ngajak berantem, apalagi sampai adu jambak.
Kelakuan kedua: berbicara yang baik kalau tidak bisa tutup mulut
Gerakan tutup mulut sekarang jauh lebih mudah dibandingkan dengan gerakan jaga jempol.
Namun begitu, lingkungan nyata nan tidak waras merupakan tantangan tersendiri bagi para kontraktor macam kami. Lebih mudah untuk tidak menahan diri dan ikut terlibat dalam pergaulan yang merusak.
Butuh doa dan usaha yang kuat agar Tuhan bantu mengendalikan lidah untuk berbicara baik.
Kelakuan ketiga: jadilah hantu saat diperlukan
Nongol jika dibutuhkan saja, selebihnya di rumah atau melakukan kegiatan yang ada manfaatnya.
“Ibu di rumah nomor 30 itu kok jarang kelihatan ya.”
“Ah sudah ada grup WA kenapa harus repot. Entar juga datang kalau memang dia mau.”
Manusia kan makhluk sosial jadi ujungnya tetap akan butuh orang lain. Butuh ya bukan bergantung. Bergantung hanya sama Tuhan saja.
Kelakuan keempat: berbagilah kelebihan yang bermanfaat
“Tante kan bisa masak, ayo kita masak bareng.”
“Ibu kalau nanam apa saja selalu berhasil. Bagi tipsnya dong.”
“Ih ini yang bisa ajarin bikin kue ayo dong melipir ke POS RT. Biar ada yang buat isi-isi toples pas lebaran.”
Rasanya bermanfaat itu begitu menyenangkan. Lebih menyenangkan dari menggunjingkan tetangga belakang rumah yang kalau karaoke suaranya cempreng abis. *upss
Di lingkungan paling tidak waras sekalipun, bisa terselip satu penghuni yang nantinya mengubah jadi lingkungan yang lebih baik.
Kelakuan kelima: mulai membaur dengan porsi secukupnya
Tidak terlalu dekat, tidak pula menjauhi. Secukupnya, seperlunya. Terkadang karena sudah terlalu dekat, hubungan justru sering minim komunikasi yang ada berharap orang lain yang mengerti.
Kenapa harus tetap membaur ketika kami tahu tinggal di tempat yang tidak waras? Tentu saja karena bagaimanapun juga kami tetap harus memuliakan tetangga.
***
Lingkungan yang menantang akan membuat kami tumbuh, mengasah toleransi, dan terus belajar ikhas. Bersyukur dan bersyukur dimana pun kami tinggal pada akhirnya membuat kami lebih menghargai apa yang kami miliki tidak melulu mengharapkan hidup seperti orang lain.
"Orang yang minim toleransi pasti sering hidup di lingkungan yang homogen sehingga gagap pluralisme." -Panji Pragiwaksono
(666)
Sky World TMII, 5 Pelajaran bagi Orangtua dalam Mendidik Anak
Senin, 28 Mei 2018
Orang bilang mendidik anak tidak ada sekolahnya tetapi
jangan sampai tidak ada ilmu sama sekali. Lantas menyerahkan semua hal yang
berkaitan dengan pendidikan ke sekolah atau kepada orang lain. Terus bagaimana
dengan para ibu yang dianugerahi kepercayaan untuk bekerja di ranah domestik
atau bahasa kerennya "stay home
mom"? Para ibu yang punya waktu lebih dari 24 jam sehari bersama
dengan anak-anak di rumah.
“Aku mah gak sanggup, bisa gila aku kalau gak kerja di luar.”
“Sehari-hari ya urusannya itu-itu aja. Urus makanan mereka,
mandiin, belum lagi kalau baru mulai toilet
training. Bosan banget kalau gak pintar-pintar atur waktu.”
Setiap orangtua memiliki gayanya masing-masing dalam
mendidik anak. Namun akan jadi gila atau bosan bila tidak ada ilmu yang bisa diaplikasikan untuk bertahan melalui
hari-hari berat nan drama. Ya akan ada yang protes dan bilang, “Ah istriku
lulusan pendidikan anak usia dini kok, masa iya gak bisa menangani anak-anak.”
Terkadang begitulah hidup, kenyataan tak semudah teori yang
sudah dipelajari. Banyak improvisasi yang tak terduga atau tak terpikirkan
justru bisa jadi jalan menyudahi drama gerakan tutup mulut.
Berawal dari kegalauan punya ilmu tetapi belum bisa
menerapkan secara maksimal inilah, aku mulai mencatat pengalaman-pengalaman
yang aku dapatkan selama mendampingi duoG. Pelajaran-pelajaran yang tersaji
setiap hari berusaha aku dokumentasikan baik dalam catatan, foto, ataupun
video. Supaya apa? Pada saat sedang terpuruk dan butuh motivasi, aku bisa
dengan mudah mengingat kembali semangat-semangat yang terselip dalam setiap
dokumentasi.
Pelajaran pertama:
orangtua harus yakin dengan Tuhan sebelum meminta anak untuk percaya.
“Ibu, Tuhan itu apa?”
Siap atau tidak siap, pertanyaan itu akan muncul suatu saat
nanti dari mulut anak-anak. Bagaimana aku bisa menjawab sedangkan aku sediri
pun masih mencari? Ya orangtua bisa saja punya banyak alibi untuk mengalihkan
pertanyaan itu atau berusaha menemukan bersama anak tetapi anak akan dengan
mudah menemukan celah kurang yakinnya orangtua. Jika orangtua belum bisa
memberikan kenyamanan akan Tuhannya kepada anak, anak akan mencari di luar
hingga anak merasa terpuaskan rasa penasarannya.
Nah, inilah yang menjadi motivasi aku pribadi untuk
menguatkan keyakinanku agar nantinya saat anak bertanya aku sudah siap.
Selain itu kenapa keyakinan
akan Tuhan ini aku letakkan pertama dan sedini mungkin akku mengenalkan
Tuhan pada anak-anak karena aku sendiri parno dengan dunia luar yang sudah
begitu ruwet. Tanpa bekal dari rumah, aku berpikir anak-anak akan tenggelam
dengan cepat di lautan kesenangan yang menyesatkan.
Catatanku saat
belajar tentang meyakinkan diri akan adanya Tuhan adalah konsistensi
memposisikan diri. Aku merasa memiliki tantangan tersendiri saat memposisikan
rasa di tengah-tengah: ekspektasi ada,
ikhlas juga ada.
Ya Tuhan ada, Dia adalah pencipta kita, kepada Dialah kita
kembali.
Setelah orangtua yakin akan Tuhannya maka anak-anak akan
melihat dan mencontoh perilaku dan juga tidakan-tindakan orangtua. Apakah sudah
sesuai dengan keyakinan atau malah melenceng jauh? Kembali lagi pada pilihan
orangtua akan mendidik anak yang seperti apa. Anak yang yakin akan Tuhan atau
yang seolah Tuhan hanya nama saja.
Setelah memberikan contoh, orangtua biasanya berekspektasi
tinggi anak akan segera paham dan mengaplikasikan. Nah disinilah tantangannya
bagaimana terus memiliki ekspektasi yang masuk akal dan ikhlas saat anak
ternyata punya jalannya sendiri untuk lebih paham.
Pelajaran kedua: berani menerima hal baru
Berada di zona nyaman sangatlah mengasyikkan. Tentu saja butuh
tekad yang kuat dari orangtua untuk keluar.
Ketika anak-anak bertambah usia, bertambah juga keinginan masing-masing
yang butuh pendampingan. GianGaraGembul
butuh ditemani piknik sementara DulDenGeni masih butuh ASI. Di sini muncul ide
untuk sekalian mulai menyapih DulDenGeni yang sudah 27 bulan.
Ini adalah hal baru bagiku. Mau tidak mau aku harus adil
sesuai porsi. Belajar lagi bagaimana adil tetapi sesuai dengan umur dan kebutuhan
masing-masing anak.
Menemani piknik GianGaraGembul dengan total artinya
menyerahkan kepercayaan pada suami untuk mengurus DulDenGeni. Ya
sebentar-sebentar tentu saja kepikiran bagaimana DulDenGeni melalui harinya
tetapi toh sudah dua tahun lebih, dia pasti bertahan. Padahal kalau mau tetap
bertahan di zona nyaman sih bisa saja. Pulang dari piknik tinggal mengASIhi
DulDenGeni lagi tetapi kan sayang usaha suami yang seharian berusaha memberikan
pengertian kalau waktu ASI sudah cukup bagi DulDenGeni.
Saat piknik, GianGaraGembul sangat menikmati waktu berduanya
bersama aku. Kita banyak ngobrol dan saling tanya jawab seputar hal baru apa
saja yang dia pelajari. Ternyata tidak hanya anak-anak yang belajar, aku
sebagai ibunya juga ikut kecipratan ilmunya. Hihihi…
Pelajaran ketiga: belajar itu menyenangkan
"Mendidik anak di rumah sama dengan mendidik diri. Jadi kuatkan diri dulu agar anak juga merasakan auranya." (phalupiahero)
Sebagai anak yang tumbuh dengan cara belajar yang serius,
caraku tentu saja tidak akan bisa diterapkan pada anak-anakku yang dunianya
masih bermain. Bermain sambil belajar. Oleh karena itu, aku mulai belajar lagi
bagaimana caranya agar anak-anak selain bermain juga bisa mendapatkan ilmu yang
nantinya berguna bagi mereka.
Pada saat pinik ke Sky World di TMII, GianGaraGembul belajar tentang planet-planet dengan cara
melihat dan mendengar narasi di planetarium. Dia menyamakan seperti masuk
bioskop tetapi filmnya tentang planet-planet.
Tidak perlu bentakan atau teriakan bahkan diharuskan untuk
menghafal. Bila anak senang secara otomatis dia akan meminta penjelasan dan
mengulang-ulang hingga dia paham.
![]() |
Setelah ini GianGaraGembul membuat lagu tentang planet-planet tetapi aku lupa merekam jadinya gak bisa diulangi deh |
Kuat di sini tentu saja menahan ego untuk menuntut anak
menjadi sempurna seperti apa yang aku inginkan sebagai orangtua. Betul kan?
Tantangan untuk menyesuaikan ekspektasi dan juga mengikhlaskan segala sesuatu
sesuai porsinya.
“Sudah cukup Nak. Memang seginilah porsimu.”
Pelajaran keempat: memberikan kepercayaan penuh pada anak
"Tegas bukan keras. Sayang bukan lemah. Tuntas tidak setengah-setengah." (phalupiahero)Menuntut anak sempurna seperti apa yang ada di kepala orangtua adalah kekonyolan. Tuntutan ini akan menjadi kekerasan, kadang berubah menjadi tidak konsisten, dan akhirnya setengah-setengah dalam mendidik anak-anak.
Anak-anak memiliki fitrah yang luar biasa. Tanpa disadari
fitrah anak-anak (rasa ingin tahu, imaginasi kreatif, seni untuk menemukan, dan
akhlak mulia) justru malah mati sebelum berkembang saat bersama dengan orangtua.
Rasa ingin tahu anak musnah oleh kalimat, “Sebentar ya, ayah
kerja dulu.”
Imaginasi kreatif anak menghilang karena sanggahan,”Ibu
sibuk. Kita bikin mobil-mobilannya nanti saja ya.”
“Ibu lihat, ada rumah semut.” Tanpa penjelasan si ibu
menarik anaknya dari sarang semut api. Padahal bisa saja ibu menjelaskan apa
itu rumah semut yang sudah ditemukan anaknya. Kenapa harus melihat dari jarak
aman?
“Ayah, kasihan ya itu anaknya. Dia gak punya rumah.”
“Ah mereka hanya orang malas yang gak mau bekerja dan
memilih untuk mengemis.”
Kepercayaan penuh pada anak layak diberikan karena Tuhan
Yang Maha Pengasih lagi Penyayang memberikan anak fitrah yang luar biasa. Oleh
karena itu orangtua harus berjuang untuk mendidik agar fitrah anak tidak
hilang. Dari kepercayaan inilah rasa percaya diri anak terbentuk.
Tidak masalah dia mendapatkan kejutan-kejutan kesulitan, dari sanalah anak
belajar untuk yakin pada diri sendiri dan menemukan solusi.
![]() |
Jangan sampai anak tidak mau mencoba karena yang dia lihat hanya kesulitan karena tidak percaya diri untuk mencoba. |
Pelajaran kelima: berterima kasih pada anak untuk setiap
kemajuan kecil yang anak tunjukkan
Tiga kalimat sakti yang susah diucapkan orangtuaku adalah
tolong, maaf, terima kasih. Alhamdulillah aku sempat bekerja sebagai guru anak
usia dini yang membiasakan anak-anak dengan tiga kalimat sakti itu. Awalnya
memang tidak mudah tetapi ketika anak-anak mulai terbiasa, rutinitas menjadi lebih
menyenangkan.
“Terima kasih ya nak, sudah mau mendengarkan ibu.”
“Terima kasih sudah mau bantu ibu membereskan barang-barangmu sendiri.”
Berpose sebelum berangkat piknik setelah memberekan
barang-barang dan menata di dalam bagasi.
![]() |
Sangat menyenangkan melalui hari dengan kata terima kasih untuk hal-hal kecil yang membahagiakan |
Butuh satu kampung untuk mendidik seorang anak. Bahu membahu
bersama pasangan dan juga sesama orangtua dalam satu komunitas. Terus menerus
konsisten belajar agar anak juga melihat orangtua sebagai teladan dalam
mendapatkan ilmu dan mempraktikkannya.
Baca, Pahami, Klik Bagi!
Senin, 21 Mei 2018
Ceritanya mau menulis tentang cara berdamai dengan "masa depan" tetapi setelah perubahan suasana hati yang signifikan jadi ganti haluan. Apaan? Curhat lah!
Semenjak berniat menulis secara runut, aku sekarang lagi banyak baca. Entah itu baca cepat atau baca mendalam hingga selesai satu buku.
Nah saking rajinnya sampai-sampai copas yang panjang mirip kereta juga dibaca. Lagi asyik baca ada pesan baru yang masuk, inti pesan itu sih sebenarnya agar lebih waspada menyikapi maraknya para penjahat yang mengincar anak-anak. Namun pilihan katanya tidak membangkitkan rasa hati-hati melainkan paranoid.
Sebagai seorang penyintas *korban KDRT dan pelecehan, ada semacam alarm yang aktif. Semua kejadian terulang dan memberikan serangan panik serta dada berdebar. Ada semacam tusukan-tusukan di area dada dan punggung.
"Siapa yang menulis? Apakah kamu menulisnya sendiri?" aku bertanya dengan berusaha menjaga tangan-tangan yang gemetar.
"Tidak aku hanya copas," ujarnya enteng.
Inginku mengumpat tetapi percuma, aku tahu dia adalah manusia bebal. Lagi pula, berbalas pesan marah tak akan menyelesaikan masalah.
"Apakah kamu membaca isi pesan yang kamu copas? Apakah kamu sudah memahami isinya? Dan apakah kamu memikirkan perasaan apa yang akan tercipta jika para penyintas membaca?"
"Kan aku hanya berbagi saja."
"Bukankah tidak masuk akal membagi sesuatu tanpa kamu pahami esensi beritanya?"
Di dunia yang saat ini bergantung pada jari-jari yang klik share atau yang lebih parah asal copas tanpa tahu apa yang dibagi, nasib para pembaca teliti sungguh memprihatinkan. Kami harus berjuang dengan keras untuk memberikan edukasi pada orang-orang yang jarinya tidak disekolahkan dengan baik lalu mendapat pandangan sinis.
Jika kamu sendiri saja malas membaca copas sepanjang itu kenapa menyuruh orang lain untuk membacanya? Tolong lah untuk mulai membaca dengan pelan lalu dipahami baru setelah kamu yakin itu bermanfaat bagi orang lain barulah kamu bagi.
Niatnya memang berbagi makanya kamu harus benar-benar memastikan kalau berita yang kamu bagi itu berguna.
"Ah begitu aja dibikin ribet sih!"
Ya kalau kamu gak mau ribet ya gak usah berbagi artikel yang tidak kamu tulis sendiri, tidak kamu baca, bahkan tidak kamu pahami. Masih banyak cara lain untuk eksis di grup WA atau media sosial dengan cara yang baik.
Tulisan apabila kamu membaca dan memahaminya dengan baik, bisa memberikan efek luar biasa. Tulisan bisa mengubah sudut pandang seseorang, membuat orang sadar, atau mungkin jadi seseorang yang jahat. Belum lagi menambah keyakinan akan sesuatu yang menjadikannya fakta-fakta yang mungkin dia jadikan sumber informasi yang relevan dalam menyelesaikan masalah.
Terus bagaimana kalau tulisan yang kamu bagi adalah hoax?
![]() |
orang bijaksana pasti berusaha membagi berita yang sudah dipastikan itu fakta |
Selain itu, bukankah membahagiakan jika sesuatu yang kita bagi memberikan efek senyum-senyum simpul mengingat kenangan manis bukan justru membuat tangisan merana meledak. Butuh banyak masukan dan kenangan indah yang banyak untuk sekedar menghapus satu kenangan buruk.
"Semua orang bodoh bisa tahu. Masalahnya adalah bagaimana memahaminya." - Albert Einstein-Baca, pahami, klik bagi! Kalau kamu memang tidak ingin kebodohanmu menjadi rahasia umum maka benar-benar pahamilah sesuatu sebelum kamu bagi. Lebih bagus lagi masukkan empati pada setiap hal yang kamu bagi.
Berbagi kan agar dinikmati banyak orang maka jangan biarkan orang lain justru merasakan khawatir, gelisah, bahkan bersedih hati.
Mari pahami sebelum berbagi, mari berempati bukan menghakimi., dan mulai dari diri sendiri yang mau membaca dengan teliti.
(502)
Serba-Serbi Status Whatsapp tentang Romantisme dalam Pernikahan
Senin, 14 Mei 2018
Pernikahan bisa berakhir kapan saja dan sebabnya bisa apa saja, pernikahan memang lebih mudah diselenggarakan dan pastinya lebih menantang saat mempertahankan.
Tentu dalam era yang serba diukur dengan viral, kita harus siap mendapatkan nyinyiran ketika mengumbar romantisme di media sosial. Meskipun begitu, semua selalu bisa kembali lagi ke yang menjalani, ketika ungkapan di media sosial dimaksud untuk membangkitkan romantisme yang mati suri, kenapa harus peduli apa kata orang. Sulit memang tetapi bukan berarti tidak ada jalan. Menahan diri untuk tidak mengumbar sama sulitnya dengan berhenti membandingkan.
Dalam menjalani pernikahan, setiap pasangan memiliki cara berbeda untuk membangun romantisme. Kadang-kadang menjadi sulit ketika istri atau suami terlalu membanding-bandingkan dengan kehidupan pernikahan saudara atau teman.
"Selalu ingat Tuhan dalam setiap langkah saat membina rumah tangga maka jalan selalu terbuka."
Menikah melengkapi separuh agama. Mencintai karena Allah. Tuhan lagi, Tuhan selalu, kembali ke Tuhan.
Romantisme tidak melulu berurusan dengan ranjang, mesra bisa saja didapat saat pasangan sama-sama mendekatkan diri kepada Sang Pencipta agar selalu diberikan jalan untuk mengingat bahwa kehidupan di dunia ini fana. Akhirat sajalah yang akan menjadi akhirnya.
Godaan demi godaan datang silih berganti. Baik itu dari suami maupun istri. Perjuangan untuk terus bersama setelah badai terlewati.
Tinggal mengubah sudut pandang. Semua yang dijalani semata untuk meraih cinta Illahi.
Seseorang yang namanya tertulis di buku hijauku, yuk sehidup sesurga kaya romantisme buku Fahd
Awal dari kelekatan antara suami istri bisa jadi hanya dari hal-hal sepele yang tampak tidak menggoda. Walaupun demikian, perhatian tetaplah perhatian. Aksi nyata jauh lebih nikmat ketimbang bualan kata-kata.
Nasi goreng, mie instan plus telur, atau satu gelas susu hangat berdua sebagai pengantar tidur.
Tentu saja tidak perlu sesuatu yang mewah nan berharga selangit. Sekedar dapat perhatian penuh tanpa diduakan dengan ponsel saja sudah bahagia. Sebentar bisa ngobrol ketika anak-anak sibuk bermain juga membuat dada berbunga.
Tentu setiap orang punya recehnya masing-masing, hanya terkadang perlu diingatkan untuk bisa melihat dengan mata dan hati terbuka
Bila ternyata romantisme sudah dilengkapi dengan kehadiran anak-anak maka nikmati saja. Berikan pemandangan yang membuat anak-anak tahu apa itu cinta.
Nah ini, aku ambil pelajarannya dari cerita teman-teman yang mampir. Betapa saling memahami satu sama lain baik dari kekurangan maupun kelebihan.
Suatu malam yang cerah, aku ketemu teman. Kami ngobrol ngalor ngidul hingga pada satu titik dia memandang kosong sambil menahan sesak, "Andai aku tidak terlalu bangga pada pernikahanku yang baik-baik saja, pastilah hari ini kita akan double date ya."
Ada apa nih? Ternyata oh ternyata, suami temanku ini diambil oleh teman kerjanya. Si teman yang sudah dianggap adik sendiri ini jatuh cinta dengan suami karena setiap hari disuguhi betapa sempurnanya si suami itu. Begitu bertemu dia memutuskan untuk mengambil jalan pintas, menyerahkan banyak uang pada mbah dukun, dan mendapatkan cinta si suami.
"Ketika pacaran semua tampak baik-baik saja kenapa ketika menikah yang tampak kekurangannya terus."
Kita sering diingatkan untuk menghargai apa yang kita miliki, mau seburuk apapun itu. Kenapa? Karena mungkin saja apa yang buruk bagi kita ternyata itulah yang terbaik. Kita hanya belum sadar, belum bisa melihat dengan hati dan pikiran yang jernih.
"Suamimu walaupun sering keluar kota, kan kamunya diajak. Tahu dia ngapain aja. Lha aku, ikut gak dikasih uang belanja tambahan juga gak."
Jika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan kita maka sebaiknya bicarakan dengan suami bukan mengumbar aib rumah tangga ke semua kolega. Bisa saja sampai ke telinga mantan yang masih sayang lalu dimanfaatkan untuk merebut kembali.
Bersyukur dan terus bersyukur. Tidak adalah manusia yang sempurna tetapi jika kita meminta pada Tuhan untuk selalu dibuka jalan keluar, semoga romantisme dan juga kemesraan akan menghiasi pernikahan kita.
(588)
Langganan:
Postingan (Atom)