Apa sih yang kamu harapkan dari ikatan pernikahan? Tampak laku, mewujudkan keinginan orangtua, atau memang cita-citamu adalah menikah.
Dulu aku berpikir akan menikah di usia kepala tiga. Malah awalnya sempat berpikir tidak akan menikah. Wew! Pernikahan itu hal mustahil bagiku yang semasa kecil jadi saksi sekaligus korban KDRT. Belum lagi pelecehan yang membuatku menggambarkan pernikahan adalah "potong sayap" bagi seorang wanita. Kasur, dapur, sumur. Begitu sulit untuk wanita bisa berkembang tanpa intimidasi. Wanita itu ya tugasnya melayani suami baik di kasur, merawat dan menjaga jika sakit, serta siap mengalah jika ternyata suami adalah tulang punggung bagi keluarga mertua.
Tidak, aku tidak hendak menakut-nakuti. Kamu pasti punya pandangan sendiri tentang pernikahan. Bagaimana setelah ijab qabul lalu memamerkan buku nikah dan juga cincin setelah itu pesta meriah digelar, tentu itulah bayangan pernikahan yang ideal. Setelah pesta usai, pasangan berbulan madu dan menikmati masa berdua hingga bosan baru punya anak. Bukan yang setelah menikah, di bulan berikutnya istri sudah hamil dan belum cukup mereguk kenikmatan sebagai pengantin baru. Ish, ada lagi yang setelah menikah malah menambang di dasar laut. What a perfect life. Tentu saja kita cenderung menggambarkan sesuatu yang indah jika memang masa lalu kita indah. Tidak ada tuh pikiran aneh-aneh yang hinggap seputar harus berhenti bekerja, kehilangan waktu untuk diri sendiri, dan berhenti bermimpi untuk sekedar mengaktualisasikan diri.
Tulisan ini sekedar memberikan gambaran nyata tentang kasus-kasus yang terjadi setelah pernikahan.
Tulisan ini sekedar memberikan gambaran nyata tentang kasus-kasus yang terjadi setelah pernikahan.
"Semenjak menikah aku berhenti bekerja mba. Suami ingin cepat punya anak sebelum dia pensiun."
"Aku jadi kaya mesin produksi bayi tahu mba. Setiap tahun melahirkan. Ini aku lagi hamil anak keenam. Lihat badanku mba! Gopret. Aku aja males banget ngaca sekarang."
"Suamiku selingkuh. Katanya aku kurang seksi."
Dan percaya atau tidak ada banyak kasus "potong sayap" seperti ini. Boro-boro beli tas kesayangan, mau keluar sama teman-teman dekat aja susah. Bagaimana pernikahan bukanlah komitmen untuk saling membahagiakan melainkan untuk saling mengalah. Semacam perlombaan yang salah satunya harus terus-terusan menang dan pihak lainnya bertubi-tubi menelan kekalahan. Mau terbang sayapnya tinggal satu, mau jalan kikuk karena biasa terbang, dan akhirnya membiasakan diri terseok-seok dengan satu sayap plus kucuran darah.
Tidak hanya dari sisi istri, banyak juga kok cerita-cerita miris para pria setelah menikah. Ada yang jual ginjal untuk kebutuhan sosialita istrinya, diremehkan mertua karena gaji tidak ada setengah acan dari istri, dan akhirnya terlibat kasus korupsi atau tindakan perampokan.
Komunikasi untuk menuju kata saling. Menikah adalah dua orang. Tujuannya saling membahagiakan baik jiwa maupun raga. Anak, harta, dan kekuasaan adalah amanah. Harus membangun pondasi yang kuat berdua barulah mulai berjuang lebih keras agar pantas diberikan amanah.
Bila ternyata istri belum bisa jadi ibu rumah tangga penuh maka tidak perlulah menuntutnya untuk segera menyesuaikan diri; kursus memasak, belajar pijat bayi, atau les tari perut biar seksi. Apalagi merasa tertekan dengan gajinya yang tinggi lantas membuat lingkungan penindasan saat pulang ke rumah mertuanya.
Begitu pula istri sebaiknya mulai menyesuaikan diri dengan kondisi pernikahan secepat yang kamu bisa. Tidak perlu memaksa suami, tahu batasan, dan mulailah untuk membuka diri.
Ngobrol, tukar pendapat, atau curhat. Kan sama istri atau suami sendiri. Sah di mata agama dan hukum. Kenapa harus malu atau sungkan seperti dengan orang lain. Bayangkanlah dia itu sahabat jika perlu membicarakan hal-hal yang sensitif agar tidak ada lagi rahasia ataupun kebohongan. Lakukan kejahatan bersama bila kehidupan terasa membosankan. Suami istri sampai mati. Badai kemiskinan, ujian kekayaan, dan surga keluarga sakinah sungguh akan dinikmati bila berdua.
Maka dari itu untuk yang belum terjerumus pada "pernikahan yang salah", sebaiknya lihatlah tujuanmu menikah. Semoga bukan karena ingin terlihat laku, menyenangkan orangtua, atau sekedar ingin tahu rasanya menikah. Jadikan pernikahanmu ladang pahala dan juga bekal untuk kembali pada yang hakiki. Tuhan.
"Aku jadi kaya mesin produksi bayi tahu mba. Setiap tahun melahirkan. Ini aku lagi hamil anak keenam. Lihat badanku mba! Gopret. Aku aja males banget ngaca sekarang."
"Suamiku selingkuh. Katanya aku kurang seksi."
Dan percaya atau tidak ada banyak kasus "potong sayap" seperti ini. Boro-boro beli tas kesayangan, mau keluar sama teman-teman dekat aja susah. Bagaimana pernikahan bukanlah komitmen untuk saling membahagiakan melainkan untuk saling mengalah. Semacam perlombaan yang salah satunya harus terus-terusan menang dan pihak lainnya bertubi-tubi menelan kekalahan. Mau terbang sayapnya tinggal satu, mau jalan kikuk karena biasa terbang, dan akhirnya membiasakan diri terseok-seok dengan satu sayap plus kucuran darah.
Tidak hanya dari sisi istri, banyak juga kok cerita-cerita miris para pria setelah menikah. Ada yang jual ginjal untuk kebutuhan sosialita istrinya, diremehkan mertua karena gaji tidak ada setengah acan dari istri, dan akhirnya terlibat kasus korupsi atau tindakan perampokan.
Komunikasi untuk menuju kata saling. Menikah adalah dua orang. Tujuannya saling membahagiakan baik jiwa maupun raga. Anak, harta, dan kekuasaan adalah amanah. Harus membangun pondasi yang kuat berdua barulah mulai berjuang lebih keras agar pantas diberikan amanah.
Bila ternyata istri belum bisa jadi ibu rumah tangga penuh maka tidak perlulah menuntutnya untuk segera menyesuaikan diri; kursus memasak, belajar pijat bayi, atau les tari perut biar seksi. Apalagi merasa tertekan dengan gajinya yang tinggi lantas membuat lingkungan penindasan saat pulang ke rumah mertuanya.
Begitu pula istri sebaiknya mulai menyesuaikan diri dengan kondisi pernikahan secepat yang kamu bisa. Tidak perlu memaksa suami, tahu batasan, dan mulailah untuk membuka diri.
Ngobrol, tukar pendapat, atau curhat. Kan sama istri atau suami sendiri. Sah di mata agama dan hukum. Kenapa harus malu atau sungkan seperti dengan orang lain. Bayangkanlah dia itu sahabat jika perlu membicarakan hal-hal yang sensitif agar tidak ada lagi rahasia ataupun kebohongan. Lakukan kejahatan bersama bila kehidupan terasa membosankan. Suami istri sampai mati. Badai kemiskinan, ujian kekayaan, dan surga keluarga sakinah sungguh akan dinikmati bila berdua.
"Recipe for a happy marriage: My Wife and I always hold hands. If I let go, She shops." (Red Skelton)Tentang bagaimana pasangan akhirnya tahu, mengerti, lantas memahami bukanlah hal yang rumit. Hanya asumsi yang perlu mereka kalahkan lalu ego dan ke-akuan.Kembali lagi pada tujuan pernikahan itu sendiri.
Maka dari itu untuk yang belum terjerumus pada "pernikahan yang salah", sebaiknya lihatlah tujuanmu menikah. Semoga bukan karena ingin terlihat laku, menyenangkan orangtua, atau sekedar ingin tahu rasanya menikah. Jadikan pernikahanmu ladang pahala dan juga bekal untuk kembali pada yang hakiki. Tuhan.
Tidak ada komentar