Good Bye Girl, Welcome Woman!

"Titik balik dalam proses tumbuh dewasa adalah ketika Anda menemukan inti kekuatan di dalam diri Anda yang bertahan dari semua yang membuat Anda terluka." Max Lerner
Tentu tidak akan ada yang tahu kapan waktu begitu baik dan memberikan pembelajaran dengan cara halus nan santun. Bukan dengan tamparan keras yang hanya berujung luka dan penyesalan. Sebenarnya sudah berulang kali tetapi aku saja yang kurang jeli dan belum ada hati untuk sekedar menepi lalu merenungi diri.

"Udah kalau mau ikut ibu diem. Gak usah kebanyakan ngomong."
Anak laki-laki yang memang lagi cerewet-cerewetnya itu diem. Klakep. Tidak hendak membantah anak perempuan bertinggi tak sampai 150 meter yang dipanggilnya IBU. 

"Ibu jangan marah-marah dong," protesnya sambil menahan air mata yang hampir jatuh.
"Kalau gak mau ibu marah ya dengerin, nurut!" bantah anak perempuan yang dipanggil IBU itu sewot.
TAK MAU KALAH.

"Kenapa aku yang dimarahi? Kan dedek yang tumpahin air?"
"Ya kamu kan udah ibu mintain tolong taruh gelasnya. Mejanya tinggi kan dedek gak sampe," menjawab dengan amarah yang meledak dan berteriak.

Ibu oh ibu. Kurang mainkah kau saat kecil? Tak bahagiakah masa kecilmu hingga kini kau menolak untuk sekedar berbicara dari hati ke hati dengan anakmu. Melepas ego barang sejenak. 

Perjalanan berat sedang ditempuh seorang anak perempuan demi sebuah kesadaran penuh bahwa dia sudah dipanggil ibu. Dulu dia tidak dekat dengan ibunya. Dia hanya tahu jika seorang ibu adalah anak perempuan yang menikah lantas menggaji pembantu untuk mengurus rumah termasuk penghuni di dalamnya ketika bekerja. Lalu pada saat dia menikah maka dia tidak tahu konsekuensi apa saja ketika dia jadi ibu dan tidak bekerja. Sepenuhnya di rumah.

Oh anak perempuan ini sepertinya tidak bahagia. Dia tidak bisa melakukan apa saja yang dia mau karena ada dua buntut yang mengikutinya ke mana saja dia melangkah. Dia juga tidak bisa sekedar merawat diri di salon seperti yang biasanya di lakukan sebulan sekali. Jangankan ke salon hanya untuk mandi saja terkadang harus menunggu dua buntut itu tidur. Buru-buru. Tak pernah sempat menikmati segar dan dinginnya air yang sudah dibiarkan semalaman. 

Hingga dua buntut mulai mandiri. Bisa makan sendiri, lalu mengambil minum sendiri, dan berusaha memakai baju mereka sendiri. Anak perempuan ini merasa masih saja kurang leluasa bergerak. Masih saja melihat masa lalu yang tidak bahagia. Masa lalu di mana masa anak-anaknya direnggut paksa tak cukup kasih sayang dan hanya nelangsa. 

"Dulu aku tak bahagia. Bagaimana aku bisa memberikan kebahagiaan itu pada anak-anakku. Sekeras apapun aku berusaha menjadi ibu yang baik, rasanya selalu berakhir pada teriakan, marah, dan juga tidak terima."

Meskipun begitu, suami anak perempuan ini tidak pernah menyerah. Dia berusaha sebaik mungkin tidak menekan dan menuntut. Dia biarkan anak perempuan ini belajar. Jatuh dan bangun. Ya suamiku, aku tak pernah bisa berhenti bersyukur karena kamu membiarkan aku melalui proses "trial & error" ini. 


A Gentleman's Dignity, drama korea yang tanpa sengaja aku tonton episode terakhirnya pas lagi cari kartun buat sulung.
"Adolescents never become mature. They just get older. However, adolescents who have gotten older know. How to go a different way and how to shine a different color. Thanks to these women, we were given the opportunity to be gentlemen instead of just ordinary men. That's why we're able to say, "Good bye, boys."


Rasanya kalimat itu menyentilku. Kapan kamu akan dewasa? Pria-pria itu belajar dari wanita dan kamu belajar dari anakmu. Dua orang anak lelaki.

"Kalau aku mati, ibu gak punya anak lagi?"

Apakah menunggu anakmu mati di tanganmu sendiri? Woiii... Sadar! Malah mewek. 

Tuhan untuk masa lalu yang begitu kelam, apakah boleh aku lepaskan? Aku sungguh lelah menyalahkan apa yang terjadi di masa lalu. Aku sungguh sesak dan ingin semua berlalu. Namun kenapa semua masih saja menghantuiku?

"Ikhlaskanlah! Semua yang terjadi memang untuk menguatkanmu agar hari ini kamu bisa jadi yang terbaik."

Aku melihat tanganku, masih ada.
Aku meraba telingaku, lengkap.
Aku memijit kakiku, tidak ada yang aneh.
Aku memencet hidungku, ah masih ada napas.

Berbekal dua buntut yang selalu membuka pintu maaf untuk semua kemarahan yang aku lontarkan. Aku berkomitmen pada diriku sendiri untuk mengucapkan selamat tinggal pada anak perempuan itu dan selamat datang pada wanita yang berjuang untuk jadi dirinya sendiri hari ini.

Tidak ada komentar