Wanita yang Menganiaya Dirinya Sendiri

Wanita ini sungguh mengabdi. Baik ke suami, anak, atau orangtuanya.
Kenapa? Apa yang salah?
Wanita ini meletakkan kebahagiannya pada orang lain. Dia memusatkan hidupnya pada suami. Begitu suami meninggal, dia linglung. Begitu suami selingkuh, dia depresi.
Wanita ini begitu menikmati perannya jadi ibu. Merawat tanpa punya waktu bagi dirinya. Bagi impiannya. Lalu anaknya kuliah dan kos jauh dari rumah. Dia kesepian, tak punya kesibukan.
Wanita ini sungguh tak punya impian. Impiannya ya melayani suami dan anak-anak. Merawat orangtua.
Begitu yang dilayani dan dirawat tidak ada terus bagaimana?
Wanita ini tertatih. Menemukan dirinya.
Tak terbantahkan wanita pasti dituntut hebat di kasur, sumur, dan dapur. Lantas terkurung macam katak di dalam tempurungnya?
Coba dipikirkan ulang! Terisolasi tanpa tahu dunia luar, aniayakah wanita ini pada dirinya?
Oke misal dia punya gadget dan aktif di dunia maya, apakah cukup?
Impian. Cita-cita. Tak layakkah wanita ini untuk punya? Bagi dirinya sendiri. Lepas dari suami, anak-anak, atau orangtua.
Benar hanya wanita ini yang bisa mengubah diri. Namun bagi orang-orang sekitar tentu bisa melakukan pendekatan yang bijak. Berikan masukan. Tanpa menekan.

No Pressure, No Diamonds (T. Carlyle)
Titik balik yang nantinya bisa mematikan atau menyelamatkan wanita ini. Begitu ingin aku merengkuh dia tetapi remahan rengginang ini belum terlihat karena disilaukan cerahnya nastar, dinginnya putri salju, dan mengenyangkannya nasi grombyang.
Semoga tekanan-tekanan nantinya membawa wanita ini sadar untuk kembali pada dirinya karena sesungguhnya pada dirinyalah dia harus bertanggungjawab. Secara utuh dan penuh.

Itu Septalinda Anggraeni, temanku di kelas 3 bahasa. Dia merantau ke Jerman dari tahun 2006 kalau gak salah. Iya kami memang gak begitu akrab. Hanya sebatas satu kelas, dia penyanyi band sekolah, dan aku pernah menemani dia saat kemasukan. Entah dia ingat apa gak. Kami bertemu lagi saat reuni, dan dia memanggilku. Jadilah foto di atas itu. Dari foto itu aku jadi sadar, aku ingin jalan lagi. Ke mana saja. Tak harus luar negeri. Aku ingin punya kamera sebagai bingkai ide tulisan nantinya. Lalu yang paling ambisius adalah menerbitkan novel solo. Namaku saja di cover. Tidak ada embel-embel "dan kawan-kawan".
Aku baca lagi inboxku dengan Linda. Pengalaman Linda sebagai penguat. Asal aku tak menyerah semua impian pasti terwujud.
Ya di sela-sela mengurus anak-anak dan suami juga memantau keadaan orangtua. Impian yang akhirnya aku siram dan pupuk lagi karena tertampar keadaan. Keadaan wanita itu.
Makasih ya mba, ujianmu adalah pembuka mataku. Bahwa tidak pernah salah punya impian yang salah adalah ketika kehilangan diri sendiri karena tidak punya impian.
Aku harap mba segera keluar dari tempurung dan memilih memberi sedikit kebahagiaan bagi diri mba sendiri. Melihat kembali impian mba. Semoga keberkahan selalu melimpah.

Dariku yang baru saja menemukan kembali impian

Tidak ada komentar