Hari ini, ada renungan yang membuatku sadar bahwa aku terlalu menginginkan segalanya sempurna. SESUAI KEINGINANKU.
Ada bayangan senyum sinis yang menari-nari. Kamu sih siapa pik? Apa yang menjadikan kamu bisa memaksa orang lain untuk memakai sepatumu dan menyuruh mereka memahami apa yang kamu inginkan. Hello! Presiden aja yang bisa punya kuasa tidak bisa semena-mena, apalagi kamu yang rakyat jelata.
![]() |
Baby Geni si nomor dua yang gampang bergaul |
Menghargai yang aku miliki
Semua orang cenderung melihat kekurangan orang lain terlebih dahulu. Melakukan penghakiman tanpa mencari tahu lebih lanjut.
Aku sempat minder ketika anak keduaku lahir. Dia pesek, cunong, dan peyang. Iya setiap yang menjenguk selalu mengekspos kekurangan baby Geni. Lama kelamaan mereka terkesima dengan mata Geni yang bulat sempurna dan berwarna coklat.
Benar aku tidak memaksa mereka suka dengan Geni. Aku yang harus bersyukur, Geni adalah pelindungku dari rasa jumawa yang menghancurkan. Dia yang membuatku sadar bahwa kekurangannya bukanlah apa-apa dibanding kesehatan yang memaksa mamasnya minum obat selama 6 bulan dan merenggut indahnya masa MPASI. Geni adalah anak kedua rasa pertama karena dengan Genilah aku menikmati naik turunnya emosi saat begadang, MPASI yang sesuai jadwal, dan indahnya timbangan yang terus membuatnya tampak semok sekaligus menggemaskan.
Awalnya aku memaksakan orang lain harus tahu kebahagiaan yang aku miliki dan berniat membuat iri. Lalu aku tersadar bahwa ada saja cacat yang mereka temukan.
Akhirnya aku sadar bahwa apa yang aku miliki bisa saja dipandang sebelah mata.
Sekarang, terserah!
Aku yang menjalani. Aku juga yang harus bersyukur dan menghargai milikku.
Rumput tetangga akan selalu lebih hijau
Namanya juga manusia, tidak pernah ada puasnya. Namun coba lihat lebih dalam. Apa yang tetanggamu itu lakukan untuk akhirnya sampai pada titik "mapan". Seberapa deras darah yang rela dia alirkan untuk mendapatkan titik itu? Maukah kamu rasakan luka yang sama itu? Proses, siapkah kamu ditempa? Jika kamu tidak melihat sisi itu maka rumput tetanggamu itu akan selalu tampak lebih hijau dari rumputmu.
Sepatumu hanya cocok untukmu
Itulah kenapa aku selalu minta sama Tuhan untuk membuka mata dan hatiku agar bisa belajar dan memahami. Bukan semata tentang hasil akhir.
Hidupmu ya hidupmu. Hanya kamu yang bisa tahu rasanya, orang lain hanya lihat dan kalau mau ya belajar. Jangan mulai membandingkan karena tidak akan pernah ada hasilnya. Tidak akan bisa sama persis hasilnya jika cara A yang kamu lakukan ditiru orang. Kenapa? Ya beda orang, beda pengalaman, dan beda cara berpikir.
Nah makanya mba Apik, mulailah lagi pijakkan kaki ke bumi. Pakai sepatumu jangan paksa dirimu memakai sepatu orang lain atau sepatumu kamu paksa orang memakainya. Sadarilah porsimu. Tak perlu sombong karena di atas langit masih ada langit. Oke. 💪
Semua orang cenderung melihat kekurangan orang lain terlebih dahulu. Melakukan penghakiman tanpa mencari tahu lebih lanjut.
Aku sempat minder ketika anak keduaku lahir. Dia pesek, cunong, dan peyang. Iya setiap yang menjenguk selalu mengekspos kekurangan baby Geni. Lama kelamaan mereka terkesima dengan mata Geni yang bulat sempurna dan berwarna coklat.
Benar aku tidak memaksa mereka suka dengan Geni. Aku yang harus bersyukur, Geni adalah pelindungku dari rasa jumawa yang menghancurkan. Dia yang membuatku sadar bahwa kekurangannya bukanlah apa-apa dibanding kesehatan yang memaksa mamasnya minum obat selama 6 bulan dan merenggut indahnya masa MPASI. Geni adalah anak kedua rasa pertama karena dengan Genilah aku menikmati naik turunnya emosi saat begadang, MPASI yang sesuai jadwal, dan indahnya timbangan yang terus membuatnya tampak semok sekaligus menggemaskan.
Awalnya aku memaksakan orang lain harus tahu kebahagiaan yang aku miliki dan berniat membuat iri. Lalu aku tersadar bahwa ada saja cacat yang mereka temukan.
Akhirnya aku sadar bahwa apa yang aku miliki bisa saja dipandang sebelah mata.
Sekarang, terserah!
Aku yang menjalani. Aku juga yang harus bersyukur dan menghargai milikku.
Rumput tetangga akan selalu lebih hijau
Namanya juga manusia, tidak pernah ada puasnya. Namun coba lihat lebih dalam. Apa yang tetanggamu itu lakukan untuk akhirnya sampai pada titik "mapan". Seberapa deras darah yang rela dia alirkan untuk mendapatkan titik itu? Maukah kamu rasakan luka yang sama itu? Proses, siapkah kamu ditempa? Jika kamu tidak melihat sisi itu maka rumput tetanggamu itu akan selalu tampak lebih hijau dari rumputmu.
Sepatumu hanya cocok untukmu
Itulah kenapa aku selalu minta sama Tuhan untuk membuka mata dan hatiku agar bisa belajar dan memahami. Bukan semata tentang hasil akhir.
Hidupmu ya hidupmu. Hanya kamu yang bisa tahu rasanya, orang lain hanya lihat dan kalau mau ya belajar. Jangan mulai membandingkan karena tidak akan pernah ada hasilnya. Tidak akan bisa sama persis hasilnya jika cara A yang kamu lakukan ditiru orang. Kenapa? Ya beda orang, beda pengalaman, dan beda cara berpikir.
Nah makanya mba Apik, mulailah lagi pijakkan kaki ke bumi. Pakai sepatumu jangan paksa dirimu memakai sepatu orang lain atau sepatumu kamu paksa orang memakainya. Sadarilah porsimu. Tak perlu sombong karena di atas langit masih ada langit. Oke. 💪
Bukan cuma ukuran yang berbeda. Selera model sepatu untuk setiap orang pun berbeda. So, tergantung sudut mana yang akan digunakan ketika menatap sepasang sepatu? Pilihan ada pada diri masing - masing.
BalasHapusPilihan itulah yang kadang membuat seorang perfeksionis memaksa orang lain setuju dengan jalan pikirannya.
HapusMakasih sudah mampir di blogku.
Setuju banget mbak 😊
BalasHapusMakasih sudah mampir mba.
Hapus