![]() |
Bebas bergaya, arahkan anak bukan malah jadi bahan becandaan |
Balita atau bawah lima tahun adalah masa membentuk persepsi diri. Masa dimana anak mulai melihat siapakah dirinya? Karakter macam apa dia?
Entah disadari atau hanya melanjutkan tradisi pengasuhan dari orangtua, kita sering mengucapkan 5 kalimat ini.
1. "Kursinya nakal ya dek, pukul aja kursinya."
Kalimat menyalahkan benda-benda mati saat anak terjatuh dan menangis. Jalan pintas agar anak segera berhenti menangis. Awalnya asyik aja, toh kursi gak akan protes dijadikan kambing hitam. Terus apa dampaknya bagi anak kita?
"Mak, tadi aku pukul si Minda,"
"Kenapa?"
"Habisnya dia lihatin aku pas jatuh."
Ilustrasi lengkap: anak kita berjalan sambil mengobrol. Tidak fokus dengan langkah dan medannya. Ada batu dan jatuh. Dia memukul temannya yang tidak sengaja menatapnya saat berusaha bangun.
Kok gitu? Apa salah temannya? Kan dia cuma melihat kejadian yang ada di depan matanya.
Karena dari kecil dia tidak belajar untuk berhati-hati malah diajari memukul kursi akhirnya dia fokus ke yang ada di sekitarnya yang bisa dijadikan kambing hitam.
Jadi pikir lagi untuk menyalahkan kursi, meja, atau batu hanya agar anak berhenti menangis setelah terjatuh. Lebih baik ajari dia untuk mengetahui kenapa bisa terjatuh? Apakah kurang hati-hati, terburu-buru, atau sedang mengantuk? Ajari jika dialah yang harus mengontrol diri bila ingin selamat bukan orang lain atau benda-benda mati yang tidak tahu apa-apa.
2. "Muka jeleknya mana?"
Anak memonyongkan bibir saat diminta bermuka jelek.
Anak mengedipkan matanya saat diminta menunjukkan mata genit.
Anak memegang hidung saat ditanya mana hidung peseknya.
Mungkin orangtuanya kurang piknik atau lagi tanggal tua jadi butuh hiburan. Jadi mencari kekurangan anaknya adalah candaan melepas penat. Dan anak dengan bahagia juga belajar bahwa kekurangan ada untuk diekspos dan sebagai alat candaan. Tahu kan siapa yang mengajari bully? Ya orangtuanya sendiri.
Anak akan gunakan itu juga di luar rumah. Mulai melabel orang lain dari kekurangan fisiknya.
"Hei kamu kenal Painem?"
"Painem yang mana?"
"Painem pesek."
Apa tidak sebaiknya mencari bahan candaan yang lebih cerdas dan mendidik?
3. "Kamu tuh anak nakal."
Terus menerus meneriakkan kata nakal saat anak tidak menuruti kehendak kita tentu akan memberikan citra negatif ke anak. Dia percaya dan yakin jika dia adalah anak nakal.
Lalu setelah anak tumbuh jadi anak yang nakal kita bingung? Sibuk mencari cara agar anak berubah.
Nakal? Sebenarnya apa anak paham dan mengerti dengan kata itu? Anak nakal itu yang seperti apa?
Apakah yang tidak mendengarkan? Ya tinggal minta saja anak untuk lebih mendengarkan.
Apakah yang tidak mematuhi peraturan? Ya sebaiknya buat aturan bersama anak dan sepakati bersama. Semua pihak merasa dilibatkan. Tidak berat sebelah.
Asal melabeli anak dengan 'nakal' bukannya membuat anak jadi lebih baik malah membuat citra dirinya semakin negatif.
4. "Kamu kok gak kayak kakakmu."
Oke setelah label, anak juga dibebani dengan perbandingan. Berat nian hidupmu, Nak.
Anak adalah apa yang kita tanam. Misalnya kita punya dua anak. Ya kita berhadapan dengan dua karakter. Tidak mungkin bisa sama persis. Seperti hanya menegakkan benang basah, sama mustahilnya dengan berharap kakak dan adik akan sama mudahnya diatur.
So stop being rude to your children.
5. "Gitu aja gak bisa sih."
Makan masih berantakan, minum tumpah-tumpah, diminta beresin mainan masih berserakan.
Itulah jika orangtua hanya bisa menuntut tanpa tahu dan memahami tugas perkembangan balitanya. Anak tiga tahun diminta mengambilkan barang dengan 4 kata dan sesuai harapan itu bagus.
"Gara ambil gelas tolong."
Anak menghampiri dengan membawa tumbler yang biasa dia gunakan untuk minum.
Alih-alih bilang "gitu aja gak bisa" ya lebih bijak kita berterima kasih karena tumbler punya fungsi yang sama dengan gelas. Jelaskan saja, anak akan mudah mengerti kok.
Anak-anak usia 0-4 tahun masih mengeksplor apa saja yang ada di sekitar. Terlalu menuntut sempurna membuat kepercayaan dirinya berkurang. Anak jadi mudah menyerah. Kalah sebelum berperang.
Biarkanlah dia belajar dari apa yang salah, apa yang tidak semestinya, atau apa yang belum pas. Lalu kita bisa beri pengertian sesuai dengan bahasa mereka apa yang benar, apa yang semestinya, atau apa yang pas.
NB:
Baby Gara sedang bermain dengan temannya.
"Gara jelek kayak bebek."
Baby Gara menirukan persis ucapan itu sambil tertawa juga. Dia sungguh tidak tahu jika dia sedang diejek.
"Gara jelek kayak babi."
Baby Gara menirukan lagi.
Si emak berusaha menjelaskan bahwa itu ejekan. Namun tidak semudah itu, kata-kata itu sudah masuk di otak Baby Gara sebagai hal yang biasa bukan ejekan.
Artinya mungkin kita sudah berusaha memberikan hal-hal positif kepada anak tetapi lingkungan berbanding terbalik.
Hal yang pertama masuk itulah yang dipercaya oleh anak balita. Kita harus punya 111 cara untuk bisa memberikan ilmu yang positif buat anak kita.
Tidak ada komentar