Cowok Lagi Cowok Lagi

Di masyarakat yang serba idealis tentulah aib jika anak pertama cowok terus anak kedua cowok lagi.

"Lha cowok lagi, gak papa bisa coba lagi kok"
Emang kita beli lotre terus pas kita buka tulisannya "maaf anda belum beruntung, coba lagi". Kalau memang semudah itu, tentulah orang akan dengan segera mencoba.

Sebenarnya gak perlu dibahas panjang lebar juga sih tetapi berhubung si emak udah keburu sensi ya harus dikupas tuntas. Biar gak bisulan. Hahaha...

"Kan kalau punya anak perempuan enak, kalau besar bisa diajak ke salon bareng."

Baca juga: 3 Alasan Kenapa Kamu Harus ke Salon

Salon jadi bagian diriku semenjak bekerja. Namun sungguh bagiku tidak sesederhana itu alasan untuk memiliki anak perempuan. Butuh alasan yang tak terhindarkan misalnya mengandung dan sudah dipastikan anak yang dikandung itu perempuan.

"Kan kalau punya anak perempuan enak, kalau sudah tua ada yang mengurus," celetuk salah satu tetangga.

Oke, ini berat karena belum apa-apa kita sudah menggantungkan harapan kepada sesuatu yang tak pasti. Kenapa tak pasti? Anak perenpuan pada waktunya akan menikah. Menikah artinya mengikuti suami kemanapun dia pergi. Dan apa selanjutnya? Anak perempuan kita tidak bisa selalu ada di sisi kita. Apakah ideal jika kita menuntut dia untuk merawat kita saat tua?

"Kan kalau punya anak perempuan enak, bisa kita kuncir-kuncir," canda seorang teman.

Serumit kepang rambut, urusan kuncir-kuncir ini juga rempong. Kita harus bangun lebih pagi untuk mempersiapkan semua. Baik itu urusan sarapan, baju yang dipakai hari itu hingga akhirnya bisa fokus mengucir atau mengepang rambut si putri kecil. Bagi mereka yang siap tentu hal ini bisa menguatkan ikatan batin antara ibu dan anak perempuannya. Ya siap adalah kata kuncinya.

Lalu siapkah aku?

Baru setelah kuliah aku berdamai dengan keadaan. Keadaan bahwa ada ruang kosong di hatiku. Ruang yang diisi oleh khayalan-khayalan tentang masa kecil yang indah. Bukan masa kecil yang penuh tekanan dan kekerasan.

Aku harus menjelaskan dengan detil kepada sahabat saat mereka tanya kenapa aku tidak ingin anak perempuan saat aku hamil yang kedua. Aku juga menjelaskan betapa aku sempat stres sebelum tahu jenis kelamin anak keduaku. Jika ternyata anak keduaku perempuan maka pastinya stres akan berlanjut hingga melahirkan. Terima kasih kepada Tuhan yang begitu pengertian. Memberiku kesempatan untuk belajar lagi dan siap memiliki anak perempuan. Jadi benar, tidak semudah itu menanggapi candaan: cowok lagi, cowok lagi.

Memiliki anak perempuan harus siap dengan kondisi kelekatan dengan ayah. Anak perempuan secara psikologis memang harus dekat dengan ayahnya agar dia matang secara emosional. Sementara aku? Pengalaman dipukul, ditampar, disiksa secara verbal membuatku sangat membeci ayahku. Aku pernah tidak ingin menikah karena kekerasan dalam rumah tangga yang aku alami. Luka batin yang aku bawa hingga sekarang. Itulah kenapa aku tidak siap memiliki anak perempuan. Aku belum siap jika nantinya luka batinku memengaruhi caraku mendidiknya. Aku tidak bilang itu tidak memengaruhi caraku mendidik anak laki-lakiku tetapi jauh lebih mudah berkilah dia anak laki-laki. Aku akan mendidiknya jadi calon suami dan calon ayah yang lebih baik dari ayahku.

Suamiku bukan ayahku, dia sangat bisa diandalkan dalam mengurus anak. Dia dengan senang hati melakukan hal-hal yang berhubungan dengan anak-anaknya. Dia memandikan, menggantikan popok, bahkan menceboki anaknya.

Hal tersebut tentu membuatku tidak perlu gelisah. Khawatir jika nantinya anak perempuanku bernasib sama denganku. Memiliki ruang kosong yang akhirnya membuatku menimbun.

baca juga: Si Penimbun Buku Itu Aku

Aku ingin anak perempuanku stabil secara emosional, dekat dengan ayahnya, dan yang paling penting dia merasa bahagia. Bahagia karena ibunya siap menerima dia. Bahagia karena ibunya mendidik dia dengan kasih sayang bukan tekanan dan kekerasan.

Jika Tuhan ijinkan dan Tuhan mampukan. Mungkin aku punya anak perempuan. Namun saat ini aku menikmati dulu jadi yang tercantik di rumah. Menikmati dulu candaan "cowok lagi, cowok lagi". Dan memang jika benar aku tiba, aku minta Tuhan siapkan dan mampukan. Amin.

Jadi bukan tidak ingin anak perempuan, di dunia yang serba ideal begini pastilah ada tuntutan kalau anak pertama laki-laki yang kedua seolah-olah harus perempuan. Namun aku sadar diri, aku tidak mau berekspektasi terlalu sempurna. Sadar bahwa aku manusia yang tak sempurna jadi tidak bijak rasanya menuntut terlalu tinggi apa yang belum bisa aku tangani hanya karena tuntutan dunia luar.

#happymom #happykids #happybabyboy #happyme #syukuriapayangada #nikmatiapayangdimiliki

Tidak ada komentar