Melahirkan merupakan momen yang ditunggu. Perasaan campur aduk pasti dirasakan. Tidak sabar, bahagia, atau malah khawatir berlebihan.
Banyak hal-hal yang dipersiapkan oleh calon ibu untuk menyambut kelahiran bayinya. Dari yang besar hingga pernik-pernik kecilnya. Hingga akhirnya lupa. Lupa untuk menyiapkan mental.
Mental? Emang perlu ya?
Cermati perubahan si ibu Neneng ini:
Dari pagi hingga pagi lagi, ibu Neneng hanya tidur 3 jam. Padahal sebelumnya dia terbiasa tidur 8 jam sehari. Ada rasa lelah yang teramat sangat menyerangnya. Membuat pening kepala. Bayi yang baru lahir itu sungguh belum memiliki pola tidur yang pasti. Dia rewel dari pagi hingga dini hari. Suami, sosok yang diharapkan bisa menjadi partner ternyata bekerja di luar kota. Pulang seminggu sekali. Nenek si bayi, bukanlah yang cekatan membantu. Nenek membantu dengan mengatakan harus begini harus begitu, tidak ada aksi.
Ibu Neneng menangis, ibu Neneng butuh bantuan. Namun kepada siapa dia harus mengadu? Kepada siapa dia harus meminta?
Sembilan bulan ibu Neneng bertahan. Hingga akhirnya menyerah dengan menelan obat tidur.
Sebagian orang masih ada yang mengeryit. Tidak percaya. Namun itulah kenyataannya. Berawal dari postpartum blues yang ditandai dengan perubahan mood, kelelahan, dan gelisah. Lalu berlanjut dengan postpartum depression dengan gejala insomnia, keinginan untuk bunuh diri dan perasaan bersalah berlebihan.
Ini bukan semata kelelahan ya. Kita butuh kejelian sendiri untuk bisa tahu seorang ibu terkena sindrom ini. Mungkin ada yang ekstrem hingga reaksinya begitu terlihat seperti bersikap kasar ke anak, ketakutan saat mendengar anak menangis, atau yang mengurung diri di kamar yang berbeda dengan anak.
Awalnya aku begitu yakin tidak akan berdampak padaku. Aku punya ibu yang sangat membantu, suami yang bisa diajak begadang bareng, dan keluarga yang tahu mengurus ibu yang baru melahirkan.
Namun setelah anak keduaku lahir, aku begitu lelah dan leherku mudah sakit. Kalau leher sudah sakit rasanya semua salah. Dan Baby Gara lah yang sering jadi korban.
Ya Tuhan, aku pasti adalah ibu durhaka yang menganiaya anugerahMu. Terkutuklah aku.
Aku lelah Tuhan. Aku lebih sering memikirkan untuk mati saja. Tentu saja itu tidak menyelesaikan masalah.
Tidak mudah untuk mengakui. Tidak mudah untuk akhirnya ikhlas. Ikhlas menerima bahwa kita punya batas. Batas lelah.
Terlalu menuntut dan dituntut juga jadi faktor pemicu depresi pasca persalinan.
LEBIH PEKA KEPADA DIRI SENDIRI
Kenali saat merasa ada perubahan emosi.
Jangan mengelak saat kita merasa marah di satu menit dan menangis di menit berikutnya. Relakan saja jika memang itu yang terjadi.
Tidak perlu mencari kambing hitam untuk meluapkan emosi. Semakin ditekan maka ledakan emosi kita akan semakin dasyat.
Akui dan segera bicarakan dengan pasangan.
Proses menerima memang tidak akan seperti membalikkan telapak tangan.
Awali dengan mulai membuka diri dan terbuka pada pasangan. Biarkan pasangan ikut berproses kelelahan macam apa yang kita alami. Jika suami tidak selalu ada di samping kita maka kita bisa minta bantuan orang yang dekat dan kita percaya.
Meminta bantuan ahli atau psikolog bukanlah aib.
"Eh si mba itu kok cerita abis ke psikolog."
Nadanya semacam vonis jika kita gila dan segera masuk RSJ.
Tentu saja salah besar. Psikolog ada untuk membantu bukan untuk memasukkan kita ke RSJ.
"Pakailah masker oksigenmu baru pakaikan pada anakmu.
Artinya selamatkan diri kita baru kita bisa selamatkan anak kita. Dengan menyehatkan diri kita baru kita bisa membuat sehat anak kita. Anak yang bahagia tentu dibesarkan oleh orangtua yang bahagia pula.
JAUHKAN BENDA-BENDA YANG BERBAHAYA
Pisau atau benda tajam lainnya
Obat serangga atau cairan yang mengandung racun
Tali dan semacamnya
Tak perlulah dijelaskan detil, nanti akan sangat jelas betapa masalah depresi ini begitu dekat dengan keinginan bunuh diri atau menyakiti orang lain.
Awalnya aku begitu yakin tidak akan berdampak padaku. Aku punya ibu yang sangat membantu, suami yang bisa diajak begadang bareng, dan keluarga yang tahu mengurus ibu yang baru melahirkan.
Namun setelah anak keduaku lahir, aku begitu lelah dan leherku mudah sakit. Kalau leher sudah sakit rasanya semua salah. Dan Baby Gara lah yang sering jadi korban.
Ya Tuhan, aku pasti adalah ibu durhaka yang menganiaya anugerahMu. Terkutuklah aku.
Aku lelah Tuhan. Aku lebih sering memikirkan untuk mati saja. Tentu saja itu tidak menyelesaikan masalah.
Tidak mudah untuk mengakui. Tidak mudah untuk akhirnya ikhlas. Ikhlas menerima bahwa kita punya batas. Batas lelah.
Terlalu menuntut dan dituntut juga jadi faktor pemicu depresi pasca persalinan.
LEBIH PEKA KEPADA DIRI SENDIRI
Kenali saat merasa ada perubahan emosi.
Jangan mengelak saat kita merasa marah di satu menit dan menangis di menit berikutnya. Relakan saja jika memang itu yang terjadi.
Tidak perlu mencari kambing hitam untuk meluapkan emosi. Semakin ditekan maka ledakan emosi kita akan semakin dasyat.
Akui dan segera bicarakan dengan pasangan.
Proses menerima memang tidak akan seperti membalikkan telapak tangan.
Awali dengan mulai membuka diri dan terbuka pada pasangan. Biarkan pasangan ikut berproses kelelahan macam apa yang kita alami. Jika suami tidak selalu ada di samping kita maka kita bisa minta bantuan orang yang dekat dan kita percaya.
Meminta bantuan ahli atau psikolog bukanlah aib.
"Eh si mba itu kok cerita abis ke psikolog."
Nadanya semacam vonis jika kita gila dan segera masuk RSJ.
Tentu saja salah besar. Psikolog ada untuk membantu bukan untuk memasukkan kita ke RSJ.
"Pakailah masker oksigenmu baru pakaikan pada anakmu.
Artinya selamatkan diri kita baru kita bisa selamatkan anak kita. Dengan menyehatkan diri kita baru kita bisa membuat sehat anak kita. Anak yang bahagia tentu dibesarkan oleh orangtua yang bahagia pula.
JAUHKAN BENDA-BENDA YANG BERBAHAYA
Pisau atau benda tajam lainnya
Obat serangga atau cairan yang mengandung racun
Tali dan semacamnya
Tak perlulah dijelaskan detil, nanti akan sangat jelas betapa masalah depresi ini begitu dekat dengan keinginan bunuh diri atau menyakiti orang lain.
Semoga akan lebih banyak orang yang tahu, sadar, dan akhirnya bisa membantu ibu-ibu yang terkena depresi pasca persalinan. Tidak lagi meremehkan dan terlambat menyadari hingga kehilangan orang-orang terkasih di samping kita semua.
Tidak ada yang percaya seorang ibu terkena depresi pasca persalinan hingga dia bunuh diri.
Tidak ada yang percaya seorang ibu terkena baby blues hingga dia masuk rumah sakit jiwa.
Tidak ada yang percaya seorang ibu butuh istirahat hingga dia memukuli anaknya sendiri.
Mereka menuntut, ibu itu harus kuat.
Mereka percaya, ibu itu bisa mengatasi segalanya.
Mereka menghakimi, ibu itu harus mengorbankan segalanya untuk anak. Tidak boleh pergi, pecicilan kesana-kemari hanya demi kebahagiaan diri.
Tidak ada yang percaya seorang ibu terkena baby blues hingga dia masuk rumah sakit jiwa.
Tidak ada yang percaya seorang ibu butuh istirahat hingga dia memukuli anaknya sendiri.
Mereka menuntut, ibu itu harus kuat.
Mereka percaya, ibu itu bisa mengatasi segalanya.
Mereka menghakimi, ibu itu harus mengorbankan segalanya untuk anak. Tidak boleh pergi, pecicilan kesana-kemari hanya demi kebahagiaan diri.
Catatan: Untuk seorang teman yang hari ini berpulang. For a friend that crying for help but nobody hear include me. So sorry. Rest in peace ya babe. You deserve better even you don't get it. (26 Maret 2015)
Tidak ada komentar