Mainan Anak, Kasih Sayang atau Persaingan


Semenjak menjadi ibu rumah tangga, waktu aku habiskan bersama anak selama 24 jam penuh.

Waktu untuk bersosialisasi atau keluar dari rumah mengikuti jam makan anak. Jam setengah 7 pagi untuk sarapan, jam 11 untuk makan siang, dan jam 3 adalah makan sore. Waktu bersosialisasi adalah saat anakku berinteraksi dan bermain dengan anak-anak tetangga. Sementara aku, ngerumpi bareng emak-emak.

Tema pembicaraan kami campur aduk. Dari membandingkan perkembangan anak-anak, mainan apa yang seharusnya dibeli, dan kadang ngelantur ke harga emas yang merangkak naik.

Obrolan kami terhenti saat anak-anak kami mulai menangis. Berebut mainan. Mainan motor matic yang masih baru.

"Sudah, gak usah menangis. Nanti minta ayah beliin."

"Iya minta beliin ayahmu aja, murah kok. Gak sampe jual mobil."

"Pasti ayah beliin lah. Kan ayahmu sayang banget ama kamu."

Aku merasa tertampar. Sayang? Itukah ukuran sayang? Membelikan mainan yang anak mau.

motor mainan
"Nih motormu baru jadi gak usah rebutan lagi ya. Kamu pake punyamu, dia pake punya dia."

Anakku Gara menangis sejadi-jadinya. Semua teman makan siangnya sudah punya motor mainan. Dia sendiri saja yang belum.

Ada rasa sedih yang menyesakkan dadaku. Aku sayang anakku. Aku ingin yang terbaik untuknya. 

Rasa sedih berubah jadi marah, aku dan suami sanggup kok membeli sepeda motor matic mainan itu. Jika hanya untuk memuaskan ego semata, kami sanggup mengikuti persaingan sengit ini. Persaingan membelikan mainan yang dimiliki teman-teman Gara. Apa yang teman-teman Gara punya, Gara juga punya.

Lalu apa yang didapat Gara? Iya dia berhenti menangis tetapi setelah itu dia tahu bahwa untuk mendapatkan sesuatu, dia cukup menangis. Aku tidak mau seperti itu. 

Aku biarkan Gara menangis. Setelah lelah aku peluk dia.

"Nak, ambil mobil-mobilan Gara aja yuk. Bisa gantian nanti sama adek. Adek pake mobil Gara, Gara pinjam motor adek. Gimana?"

Gara menjawab dengan anggukan lemah, aku senang. Satu sisi bisa mengalahkan egoku dan di sisi lain anakku belajar banyak hal. Bahwa menangis tidak membuatnya dapat apa yang diinginkan. Dia juga belajar tidak semua hal bisa dimiliki. Selain itu dia belajar meminjam dan berbagi dengan orang lain.

Gara dengan mobil mainannya

Belajar berbagi


Jika hanya menuruti ego maka kita pasti akan memetik bintang sebagai tanda sayang.

Persaingan kadang memang untuk kemenangan. Namun, setelah menang, rasa apa yang tertinggal? Semoga bukan kehampaan.

7 komentar

  1. Memberi pengertian terhadap anak seusia Gara memang tak mudah tapi Mba sudah mendidiknya dengan pas "Mendapatkan sesuatu tak bisa didapatkan dengan cara menangis." keren :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masih harus banyak belajar mba. Kalau gak belajar bisa-bisa aku jadi ibuk yang jahat. hihihi...

      Hapus
  2. kenapa mainan anak jaman sekarang begini amat yah mak, motor matic segala, kan buat anak2, dududuuh, orangtuanya juga malah lomba2 ngebliin aah, miriss sekali -__-

    katanya, memang ada bagusnya 'tega' demi kebaikan anak yah mak ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, kalau ke pasar gembrong atau ASEMKA bisa kalap mak. Banyak mainan yang lebih kece dibanding motor matic.

      Ini kalau gak 'tega' bisa-bisa gaji bulanan ludes buat beli mainan doang. hihihi

      Hapus
  3. iyes mbak, gak mesti menuruti semua yang diminta dan diinginkan anak. anak itu penuh pengertian sebetulnya kalau kita biasa menjelaskan segala hal pada mereka. semangat ya mbak! ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mba, ini lagi coba konsisten untuk komunikasi. ^_^

      Hapus
  4. Yang penting jangan sampai lepas dari perhatian orang tua nya mbak :)

    BalasHapus