TENTANG
SAYA
[TR1] Saya hobi menulis sejak kelas 5 SD. Cerpen atau puisi yang
saya tulis dibaca oleh teman-teman dekat. Entah mereka objektif atau hanya
menyenangkan hati, mereka bilang menyukai karya-karya saya. Hobi itu terus
berlanjut sampai di SMA. Saya sempat menjadi ghost writer yang mengerjakan hampir 20 cerpen untuk teman-teman
sekelas yang menginginkan nilai bagus di mata pelajaran bahasa Indonesia. Saya
mulai berhenti saat masuk kuliah. Kenapa saya berhenti karena alasan-alasan
seperti:
2.
Menemukan
banyak hal baru
3.
Menemukan
teman-teman yang lebih suka membaca daripada menulis
4.
Menyesuaikan
dengan orang-orang yang tidak menyukai 'bakat menulisku'
5.
Tidak
punya ide
6.
Menyesuaikan
dengan lingkungan bahasa yang baru (bahasa Inggris)
7.
Menulis
dengan bahasa Indonesia jadi lebih susah (saya kuliah di jurusan bahasa
Inggris)
8.
Lebih
suka beli-beli buku lalu tergeletak dan tak selesai dibaca
9.
Sibuk
kuliah
10.
Sibuk
mengejar dosen
11.
Sibuk
mengerjakan tugas-tugas kuliah
12.
Kalau
ditulis mungkin daftarnya lebih dari seratus yang intinya saya mulai
meninggalkan hobi saya, berselingkuh dengan kesenangan yang lain.
[TR2] Sudah sejak lama saya berpikir untuk menjadikan menulis
sebagai sumber penghasilan. Namun selalu saja ada alasan-alasan yang seharusnya
bisa saya singkirkan dengan mudah. Ya saya mengakui jika saya seorang
melankolis yang melewatkan banyak waktu untuk menganalisa dan merencanakan
sehingga ide-ide tulisan hanya berakhir sebagai ide yang tak terselesaikan.
Selain itu, saya suka sekali menunda dan menunggu waktu yang sempurna untuk
mulai menulis. Waktu sempurna untuk saya tentunya.
“Nanti
sajalah kalo sudah sampai di kos, ada di depan laptop, secangkir teh dan
cemilan. Sungguh waktu yang pas untuk menulis.”
Dan ternyata tidak pernah ada waktu
yang sempurna untuk menulis. Setelah sampai di kos, saya akan langsung
merebahkan diri dan mulai merajut mimpi hingga pagi hari.
“Besok
sajalah, hari ini terlalu letih.”
Dari satu penundaan ke penundaan
yang lain. Dari satu rancangan waktu sempurna ke rancangan waktu sempurnya yang
lain. Sungguh, akhirnya saya tak jua memulai.
Saat saya bertemu dengan seorang pria yang luar biasa
berpengetahuan dan memulai semua kisah kami. Merasakan kembali euforia cinta.
Dan endorfin itu menuntun saya kembali bercinta dengan tulisan. Note yang
menggambarkan perasaan disertai tanggal, saya tulis untuk kemudian saya jadikan
novel. Ya novel perjalanan kisah kami. Namun itu semua lenyap tak berbekas
setelah beberapa bulan yang lalu laptop saya koma. Menangis, meratap dan
penyesalan yang berkepanjangan. Saya memikirkan masa-masa keemasan ide dan
tulisan yang hilang bersama mati surinya laptop. Mulai saat itu saya jadi
apatis, skeptis dan kering kerontang. Saya tidak bisa menulis karena semua
ide saya telah ikut mati suri bersama laptop. Saya tidak lagi punya penyemangat
untuk menulis.
Juli 2011 saya menikah dengan pria luar biasa tersebut dan
mulailah dengung-dengung: "Kapan mulai nulis lagi dek?" Ya dia tahu
apa yang saya suka. Dia tahu apa yang bisa buat saya bertahan dari badai stres.
Namun saya masih dengan berjuta alasan dan dia juga tanpa menyerah
mendengung-dengungkan: "Ayolah, kapan mulai nulis?"
“Mas, adek boleh ikut pelatihan menulis ya?” tanyaku ragu
“Ikut aja dek, mungkin dari sana adek bisa mulai semangat
nulis lagi.”
Ada dua pelatihan menulis yang saya ikuti tetapi belum juga
mulai menulis.
“Apa gunanya punya banyak ide cerita dan sering ikut
pelatihan tetapi tidak ditulis. Percuma! Yang harus adek lakukan cuma menulis.
Mulailah menulis.” ujar suami saya tegas.
Mei 2012,
saya resmi menyelesaikan kontrak kerja saya. Fokus mengurus anak. Mulailah
hari-hari dengan waktu luang yang tak terbatas. Ya, anak saya masih bayi jadi
lebih banyak tidur, kalau anak sedang tidur lantas saya bingung hendak
melakukan aktivitas apa. Mulai dengan membaca novel-novel yang sudah dibeli
tetapi belum selesai dibaca. Mulai membuka diri dengan bersosialisasi dengan
teman-teman lama. Mulai update di facebook dan mengikuti kelas-kelas online.
“Kok gitu?”
“Ya biar adek mulai menulis. Satu bulan satu cerpen. gampang
kan? Hanya dua halaman saja. Ok, deal ya!”
“Terus dari mana mulainya?”
“Ya mulai aja dari apa yang adek rasakan. Perasaan yang ingin
adek ungkapkan. Hal-hal yang tidak bisa dibicarakan secara langsung. Misalnya
adek lagi sebel sama mas tapi gak bisa ngomong langsung ya adek bisa tulis aja.
Dari tulisan itu mas kan bisa lebih tahu apa yang sedang ade rasakan. Gimana?
Mudah kan?”
“Ya, tapi gimana kalau harus stand by jagain anak? Ya sich kerjaannya cuma lihatin dia tidur
tapi kalo ditinggal dia pasti nangis, minta ditungguin.”
“Mas tahu itu makanya mas beliin adek handphone Blackberry. Adek bisa tetap menulis dimana aja terus bisa
dipindah di laptop atau mau langsung kirim juga bisa. Mas sudah daftarin paket
yang full service jadi semua
sempurna. Mas harap adek bisa mulai nulis tanpa harus mikir-mikir yang gak
perlu.” ujar suami disertai senyum penuh pengertian
Entah mengapa saat itu saya merasa tertantang, ingin segera
menulis. Mungkin lebih pada alasan, apa lagi yang akan saya lakukan? Saya sudah
tidak bekerja, yang artinya saya tidak punya lagi aktivitas pasti dari jam
tujuh pagi sampai jam tiga sore. Suami saya yang memang penuh pengertian telah
membukakan jalan. Tinggal saya saja yang mulai menulis. Tidak perlu banyak alasan
dan penundaan. Baiklah saya harus mulai menulis. Dimulai dari apa yang saya
rasakan tetapi belum dapat diungkapkan secara langsung.
Setelah
mulai menulis, perlahan-lahan saya memahami. Hal yang harus saya lakukan untuk
mendapatkan apapun yang saya inginkan adalah bertindak. Menyingkirkan semua
asumsi-asumsi, waktu yang sempurna, dan penundaan. Intinya adalah bertindak. Action!
Jika tidak bertindak maka saya tidak dapat memujudkan apa yang saya
impikan dan saya juga tidak dapat apapun yang saya inginkan. Hari ini 6 Juni 2013 melalui perjuangan yang melelahkan
dan emosional serta terapi aura yang tiada henti, saya mengakui kalau saya
seorang pemalas dan pemberi banyak untuk
menunda dan memulai menulis. Dan mulai hari ini, saya akan terus berjuang
untuk tidak malas dan menunda. Jika ada ide saya akan berusaha untuk langsung
menulis.
[TR1]Dari
sini sampai halaman terakhir tidak termasuk fiksi, Mbak. Ini tulisan nonfiksi
true story. Biasanya masuk ke tulisan inspiratif.
Banyak buku yang berisi tulisan semacam ini, antara
lain seri Chicken Soup (Gramedia Pustaka Utama) dan A Cup of Tea
(Stiletto Book).
Tulisan seperti ini nyata, true story. Akan kita bahas
di Materi III (tanggal 12 Juni).
Cerpen, puisi, novel, novelet termasuk tulisan fiksi.
[TR2]Dalam
menulis cerpen, hindari penulisan seperti ini. Paparkan, ceritakan, bukan poin
per poin.
Dalam kisah inspiratif (nonfiksi) pun sebaiknya
dihindari. Penyampaian poin-poin begini membuat tulisan terlihat lebih kaku,
kurang menyentuh ke hati. J
[TR3]Deadline, Mbak.
Bukan dateline J
###
###
Akhir-akhir ini sering diminta untuk memberikan masukan untuk tulisan beberapa teman. Nah jadi ingat guru pertama menulis onlineku adalah Triani Retno. Seorang editor dan juga penulis. Kalau melihat satu folder yang berisi latihan, malu tetapi tetap bersyukur karena dari Mba Triani lah aku belajar tertib. Tidak menulis dengan singkatan-singkatan alay, mempelajari EYD, dan yang pasti terus menulis apapun keadaannya.
No comments